Laporan tugas Bahasa Indonesia "SASTRA INDONESIA ANGKATAN 20-AN"



SASTRA INDONESIA ANGKATAN 20-AN
(Angkatan Balai Pustaka)

A.    PERIODISASI SASTRA INDONESIA
Periodisasi berasal dari kata periode. Periode berarti kurun waktu atau lingkaran waktu (masa) (KBI, 2008:). Lebih detil lagi dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary dinyatakan bahwa periode adalah porsi waktu dalam hidup seseorang, bangsa, peradaban, dsb. Wellek (dalam Pradopo, 2007: 2) menyatakan bahwa periode – dalam kesusastraan – adalah sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh suatu sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvensi-konvensi sastra yang kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat dirunut.
Angkatan, di sisi lain, sering disamakan dengan generasi. Kerancuan dengan istilah di atas terjadi karena sebagian ahli sejarah sastra menyamakan dengan pembabakan waktu dalam sejarah sastra (Rosidi, 1986: 194). Untuk memperjelas, mari kita tinjau istilah tersebut dalam berbagai pengertian dari berbagai sumber. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999: 44), angkatan diartikan sebagai kelompok orang yang lahir sezaman (sepaham dsb).
Dari pembahasan kedua istilah tersebut dapat disimpulkan bahwa periode memiliki pengertian lebih luas. Periode meliputi pula angkatan di dalamnya. Periode lebih menekankan rentang perkembangan sebuah karya sastra pada masa tertentu dari berbagai sudut pandang: pengaruh politik, pengaruh perubahan paradigma sastrawan, perkembangan sastra dsb. Angkatan lebih menekankan pada peran pengarang atau sastrawan dalam mengembankan kesusastraan sebagai tanggapan terhadap angkatan sebelumnya. Dalam tulisan ini, kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian bergantung pembahasan, misalnya Pujangga Baru disebut angkatan sedangkan kesusastraan zaman Jepang yang merupakan perkembangan berikutnya disebut periode atau zaman Jepang karena dalam masa yang singkat ini ada ciri khusus yang tidak dimiliki oleh Pujangga Baru yang merupakan periode sebelumnya dan Angkatan 45 yang merupakan angkatan sesudahnya meskipun dalam periode ini tidak terjadi perubahan yang signifikan untuk melahirkan sebuah angkatan.

B.     KARYA SASTRA ANGKATAN ’20-AN
            Karya sastra angkatan 20-an atau angkatan balai pustaka disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbit adalah novel Azab dan Sengsara yang diterbitkan pada tahun 1921 oleh Merari siregar. Disebut pula sebagai Angkatan Balai Pustaka karna karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka.

      Ciri-ciri karya sastra pada angkatan ’20-an 
1. Menggambarkan tema pertentangan paham antara kaum tua dan kaum muda, soal pertentangan adat, soal kawin paksa, permaduan, dlll.
2.Soal kebangsaan belum mengemuka, masih bersifat kedaerahan
3.Gaya bahasanya masih menggunakan perumpamaan yang klise, pepatah, peribahasa, tapi menggunakan bahasa percakapan sehari-hari lain dengan bahasa hikayat sastra lama
4.Puisinya berupa syair dan pantun
5.Isi karya sastranya bersifat didaktis
6. Pola pikir masyarakat masih kolot, terbelakang. Masih percaya akan adanya hal mistik dan sangat menjunjung tinggi adat kebiasaan. Juga hanya perkataan orangtua lah yang paling benar dan harus dituruti.

UNSUR ESTETIK
UNSUR EKSTRAESTETIK
1) Gaya bahasa perumpamaan
2) beralur lurus
3) Tokoh berwatak datar
4) Banyak degresi ( sisipan )
5) Sudut pandang orang ketiga
6) Bersifat didaktis
7) Bercorak romantic

1) Adat kawin paksa
2) Pertentangan paham antar kaum tua dan kaum muda
3) Latar daerah pedesaan
4) Cerita sesuai taman
5) Cita-cita kebangsaan belum dipermasalahkan

    
     C.    TOKOH DAN KARYA PADA ANGKATAN ‘20
1.Merari Siregar : Azab dan Sengsara (1920), Binasa Kerna Gadis Priangan (1931), cinta dan haawa nafsu
2.Marah Roesli : Siti Nurbaya (1922), La Hami (1924), anak dan kemenakan (1956)
3.Muhammad Yamin : Tanah Air (1922), Indonesia, Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), kalau dewi tara sudah berkata.
4.Tulis Sutan Sati  : Tak Disangka (1923), Tulis Sutan Sati (1928), Tak Tahu Membalas Guna (1932), Memutuskan Pertalian (1932).
5. Nur Sutan Iskandar: Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923), Salah Pilih(1928), Karena Mertua (1932), Karena Mertua (1933), Katak Hendak Menjadi Lembu(1935), Cinta yang Membawa Maut (1926).
6. Djamaluddin Adinegoro : Darah muda (1927), Asmara jaya (1928),
7.Abas Soetan Pamoentjak : Pertemuan (1927).
8.Abdul Muis : Salah Asuhan (1928), pertemuan Jodoh (1933).
9.Aman Datuk Madjoindo :Menebus Dosa (1932),Si Cebol Rindukan Bulan (1934),Sampaikan Salkamku Kepadanya (1935).
 
D.    HASIL KARYA ANGKATAN 20-AN

 1. Judul :SALAH ASUHAN
    Penulis : Abdul Muis
    Tahun : 1928

Hanafi, laki-laki muda asli minangkabau, berpendidikan tinggi dan berpandangan kebarat-baratan. Bahkan ia cenderung memandang rendah bangsanya sendiri. Dari kecil hanafi berteman dengan Corrie du Busse, gadis indo-Belanda yang amat cantik parasnya. Karena selalu bersama-sama merekapun saling mencintai. Tapi cinta mereka tidak dapat disatukan karena perbedaan bangsa. Jika orang Bumiputera menikah dengan keturunan Belanda maka mereka akan dijauhi oleh para sahabatnya dan orang lain. Untuk itu Corrie pun meninggalkan minangkabau dan pergi ke Betawi. Perpindahan itu sengaja ia lakukan untuk menghindar dari hanafi dan sekaligus untuk meneruskan sekolahnya. Akhirnya ibu hanafi ingin menikahkan hanafi dengan Rapiah. Rapiah adalah sepupu hanafi, gadis minangkabau sederhana yang berperangai halus, taat pada tradisi dan adatnya. Ibu hanafi ingin menikahkan hanafi dengan Rapiah yaitu untuk membalas budi pada ayah Rapiah yang telah membantu membiayai sekolah hanafi. Awalnya hanafi tidak mau karena cintanya hanya untuk Corrie saja. Tapi dengan bujukan ibunya walaupun terpaksa ia menikah juga dengan Rapiah. Karena hanafi tidak mencintai Rapiah, di rumah Rapiah hanya diperlakukan seperti babu, mungkin hanafi menganggap bahwa Rapiah itu seperti tidak ada apabila banyak temannya orang Belanda yang datang kerumahnya. Hanafi dan Rapiah dikaruniai seorang anak laki-laki, yaitu Syafe’i. Suatu hari hanafi digigit anjing gila, maka ia harus berobat ke Betawi agar sembuh. Di Betawi hanafi dipertemukan kembali dengan Corrie. Disana, hanafi menikah dengan Corrie dan mengirim surat pada ibunya bahwa dia menceraikan Rapiah. Ibu hanafi dan Rapiah pun sangat sedih tetapi walaupun hanafi seperti itu, Rapiah tetap sabar dan tetap tinggal dengan ibu hanafi. Perkawinwnnya dengan Corrie ternyata tidak bahagia, samapai-sampai Corrie dituduh suka melayani laki-laki lain oleh hanafi. Akhirnya Corrie pun sakit hati dan pergi dari rumah menuju Semarang. Corrie sakit kholera dan meninggal dunia, hanafi sangat menyesal telah menyakiti hati Corrie dan sangat sedih atas kematian Corrie, hanafi pun pulang kembali kekampung halamannya dan menemui ibunya. Disana hanafi hanya diam saja. Seakan-akan hidupnya sudah tidak ada artinya lagi. Hanafi sakit, kata dokter ia minum sublimat (racun) untuk mengakhiri hidupnya, dan akhirnya dia meninggal dunia.

2. Judul :AZAB DAN SENGSARA
    Penulis : Merari Siregar
    Tahun : 1920

Novel yang berjudul “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar ini menceritakan kisah kehidupan seorang anak gadis bernama Mariamin. Mariamin tinggal dipondok bambu beratapkan ijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah kota Sipirok. Di waktu senja Mariamin atau yang biasa dipanggil Riam seperti biasanya duduk di sebuah batu besar di depan rumahnya menunggu kekasih nya datang. Mariamin sangat sedih karena Aminu’ddin, kekasihnya itu menemuinya untuk berpamitan sebab dia akan pergi ke Medan untuk mencari pekerjaan supaya dia bisa menikahi kekasihnya itu dan bisa mengeluarkan Mariamin dan keluarganya dari kesengsaraan.
Aminuddin seorang anak muda berumur delapan belas tahun.
Dia adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak. Adapun kekayaannya itu berasal dari peninggalan orangtuanya tetapi karena rajin bekerja, maka hartanya bertambah banyak. Ayah Aminu’ddin mempunyai budi yang baik. Sifat-sifatnya itu menurun pada anak laki-laki satu-satunya, Aminu’ddin. Aminuddin bertabiat baik, pengiba, rajin, dan cerdas.
Setelah Aminu’ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam rumahnya untuk menyuapi ibunya yang sedang sakit.
Mariamin tidak ingin membuat ibunya sedih oleh karena itu ia berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya walaupun itu hanya sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu sehingga dia mengetahui kalau Mariamin sedang bersedih. Ibunya mengira kesedihan anaknya itu karena dia sedang sakit sebab sakitnya ibu Mariamin sudah lama sekali. Setelah selesai menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk tidur. Mariamin tidak dapat memejamkan matanya, Pikirannya melayang mengingatkan masa lalunya ketika dia masih kecil.
Dahulu ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang yang terbilang hartawan dan bangsawan di seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis dan akhirnya jatuh miskin dan hina. Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti berpengkara, tetapi tidak diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan pokrol bambu tukang menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang perempuan yang penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan Baringin, suaminya yang pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis. Mariamin dan Aminu’ddin berteman karib sejak kecil apalagi mereka masih mempunyai hubungan saudara sebab ibu Aminu’ddin adalah ibu kandung dari Sutan Baringin, ayah Mariamin ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada Aminu’ddin karena telah menyelamatkan nyawanya ketika Mariamin hanyut di sungai. Setelah 3 bulan Aminu’ddin berada di Medan, dia mengirimkan surat kepada Mariamin memberitahukan kalau dia sudah mendapat pekerjaan, Mariamin pun membalas surat dari Aminu’ddin tersebut. Mariamin sangat bahagia menerima surat dari Aminu’ddin yang isinya menyuruh Mariamin untuk berkemas karena Aminu’ddin telah mengirim surat kepada orangtuanya untuk datang ke rumah Mariamin dan mengambil dia menjadi istrinya serta mengantarkannya ke Medan. Tetapi ayah Aminu’ddin tidak menyetujui permintaan putranya itu, biarpun istrinya membujuknya supaya memenuhi permintaan Aminu’ddin. Mariamin sudah mempersiapkan jamuan untuk menyambut kedatangan orang tua Aminu’ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak kunjung datang, malah yang datang adalah surat permintaan maaf dari Aminu’ddin. Dalam surat itu memberitahukan kalau kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa gadis lain sebagai calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur tetapi dia tidak bisa menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan dia tidak mau durhaka pada orangtua. Mariamin gadis yang solehah itu menerima maaf Aminu’ddin, dia menerima semuanya sebagai nasibnya dan harapannya untuk keluar dari kesengsaraan pun sudah pudar. Setelah dua tahun lamanya Mariamin pun menikah dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama Kasibun. Usia Kasibun agak tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia juga mengidap penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya.
Aminu’ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu’ddin apalagi ketika Mariamin menolak berhubungan suami-istri. Suaminya yang bengis itu tidak segan-segan menamparnya, memukulnya dan berbagai penyiksaan lainnya.
Akhirnya karena dia sudah tidak tahan lagi Mariamin melaporkan perbuatan suaminya itu pada polisi. Sampai akhirnya mereka bercerai. Kesudahannya Mariamin terpaksa Pulang ke negrinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok.
Hidup Mariamin sudah habis dan kesengsaraannya di dunia sudah berkesudahan. Azab dan Sengsara dunia ini sudah tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu

3. Judul : PERTEMUAN JODOH
     Karya : Abdul Moies
     Angkatan : 20-an ( balai pustaka )

Ratna, berkenalan dengan pemuda bernama Suparta di kereta, dalam perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Perkenalan Ratna dan Suparta cukup berkesan bagi sepasang anak muda itu. Selanjutnya mereka sepakat untuk melanjutkan hubungan lewat surat.Beberapa bulan kemudian, Suparta mengutarakan keinginannya untuk memperistri Ratna. Kemudian Ratna membalasnya dan menyambut baik niat Suparta.
Sambutan Ibu Suparta ternyata tidak begitu ramah. Ratna kecewa terhadap sikap Nyai Raden Tedja Ningrum yang memandangnya dengan sinis, Setelah kejadian itu, Ratna bertekad untuk melupakan Suparta. Berita pertunangan Suparta dengan Nyai Raden Siti Halimah tidak membuatnya putus asa. Namun kemalangan lain terpaksa harus ia terima. Usaha pembakaran kapur milik ayahnya, Tuan Atmaja, bangkrut. Akibatnya Ratna memutuskan untuk keluar dari sekolahnya karena tidak ada biaya.Ia pun kemudian berusaha mencari pekerjaan. Namun baru empat bulan ia bekerja, toko itu harus ditutup atas perintah pengadilan. Akhirnya ia menjadi pembantu Tuan dan Nyonya Kornel.
Selama Ratna menjadi pembantu keluarga Kornel, berbagai cobaan harus diterimanya dengan tabah. Kehadirannya dalam keluarga itu tidak luput dari rasa iri Jene, pembantu yang juga bekerja pada keluarga Kornel. Suatu ketika Ratna sakit dan dirawat di Rumah sakit, Secara kebetulan dokter yang merawat Ratna adalah Suparta. Pertemuan itu tentu saja membesarkan hati keduanya. Keyakinan Suparta bahwa Ratna tidak bersalah, ikut mempercepat kesembuhan wanita muda itu. Untuk memulihkan nama baik Ratna, Suparta menyiapkan seorang pengacara terkenal untuk mendampingi gadis pujaannya di pengadilan, karena Ratna masih harus berurusan dengan penegak hukum.
Di pengadilan, terbukti bahwa Ratna tidak bersalah. Pencuri perhiasan Nyonya Kornel ternyata adalah Amat, kekasih Jene. Pembantu keluarga Kornel yang bernama Jene itu diduga diperalat oleh kekasihnya. Pengadilan juga memutuskan bahwa Amat bersalah dan diganjar 5 tahun penjara. Sementara itu, Jene tidak dikenakan hukuman walaupun sebenarnya harus dituntut.
Sidang pengadilan juga telah mempertemukan Ratna dengan Sudarma, adiknya, schatter pegadaian Purwakarta yang bertindak sebagai saksi pertama. Lalu atas kesepakatan Suparta dan Sudarma, Ratna disuruh beristirahat di sebuah paviliun “Bidara Cina”. Gadis itu tidak diizinkan bertemu dengan sembarang orang, kecuali Suparta yang setiap sore datang memeriksa kesehatannya. Lambat laun, kesehatan Ratna mulai pulih. Ia juga mulai dapat mengingat-ingat segala sesuatunya termasuk hubungannya dengan Suparta
Begitu Ratna meninggalkan tempat peristirahatannya, Suparta langsung melamarnya. Tuan Atmadja sekeluarga berkumpul di rumah Sudarma menyelenggarakan pesta perkawinan anaknya dengan Dokter Suparta. Kebahagiaan pengantin baru itu bertambah lagi ketika mereka pulang ke Tagogapu. Rumah ayah Ratna kini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Keadaan Tuan Atmaja sekarang sudah lebih baik berkat bantuan kedua anaknya.

 
4. Judul : SITI NURBAYA
   Penulis : Marah Rusli
   Penerbit : 20- an (Balai Pustaka)
   Tahun :1920

Novel ini boleh jadi merupakan salah satu karya terbesar anak bangsa bahkan sampai saat ini. Harus diakui bahwa Marah Rusli telah menyusupkan karyanya bahkan ke dalam sistem budaya bangsa Indonesia. Anda tentu mengerti jika orang-orang berkata “Jangan seperti Sitti Nurbaya” atau “Aku bukan Sitti Nurbaya”. Tokoh Sitti Nurbaya juga kisahnya memang melekat erat dalam benak masyarakat Indonesia. Ia seolah menjadi simbol abadi kasih yang terpaksa, kasih yang tak sampai, kasih yang penuh pertentangan keluarga. Pernah membaca novel apik ini?
Patut disayangkan jika Anda belum pernah melahap abjad demi abjad dalam buku ini. Kisahnya klasik memang, tentang cinta remaja tokoh Sitti Nurbaya dengan seorang pemuda minang bernama Samsulbahri. Sitti Nurbaya sendiri merupakan anak dari seorang bangsawan Baginda Sulaiman sementara itu Samsulbahri adalah anak pembesar bernama Sutan Mahmud Syah. Mereka saling mencintai diam-diam. Pengakuan baru muncul saat Samsulbahri hendak pergi ke Batavia untuk menuntut ilmu. Mereka menghabiskan waktu lama berdua di perbukitan dan saat hendak berpisah Samsulbahri mencium Sitti Nurbaya di depan rumahnya. Hal ini tertangkap oleh ayah Sitti Nurbaya yang seketika berang. Demikian pula dengan masyarakat sekitar. Samsulbahri kemudian dikejar dan keluar dari Padang menuju Batavia.

Tokoh lainnya bernama Datuk Maringgih. Ia seorang yang terpandang di desanya. Bahkan merupakan saingan ayah Siti Nurbaya, Baginda Sulaiman. Datuk Maringgih menyimpan rasa dengki atas keberhasilan bisnis Ayah Sitti Nurbaya. Ia kemudian berbuat hal jahat menjatuhkan usaha Baginda Sulaiman dan membuatnya bangkrut tak berdaya. Tak berhenti sampai di situ, Datuk Maringgih juga membuat ayah Sitti Nurbaya berutang banyak padanya. Saat Datuk Maringgih datang memaksa keluarga Sitti Nurbaya membayar utang, ia kemudian menawarkan diri untuk menikah dengan sang Datuk asalkan semua utang ayahnya dianggap lunas tanpa sisa. Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya Datuk Maringgih menerima penawaran tersebut.
Sitti Nurbaya dan Datuk Maringgih akhirnya menikah jua, namun karena perlakuan sang suami yang dianggap kasar, akhirnya Sitti Nurbaya lari ke Batavia dan bertemu dengan Samsulbahri di sana. Mereka kembali jatuh cinta sampai suatu saat Siti Nurbaya menerima surat dari desa yang menyatakan bahwa ayahnya telah meninggal. Ia akhirnya kembali ke Padang dan meninggal di sana akibat keracunan kue yang diberikan oleh Datuk Maringgih. Samsulbahri sangat terpukul dan mencoba bunuh diri tetapi tak bisa. Pada akhirnya, di suatu kesempatan, ia berhasil membalaskan dendamnya.
Menurut bebrapa pengamat sastra, novel ini tidak menggunakan gaya penuturan Marah Rusli yang sebenarnya sebab pada jaman tersebut semua penulis yang bukunya hendak diterbitkan oleh Balai Pustaka harus mematuhi “gaya” yang telah mereka tetapkan. Meski demikian, pemilihan kata Marah Rusli dalam novel ini sangat memikat meski ia terkesan memilih bahasa yang aman. Dalam novel ini, ia juga banyak menggunakan pantun untuk menyampaikan persaan, salah satunya adalah:
“Padang Panjang dilingkari bukit,
bukit dilingkari kayu jati,
Kasih sayang bukan sedikit
dari mulut sampai ke hati”

5. Judul        : ANAK DAN KEMENAKAN
    Pengaran : Marah Rusli
    Angkatan : 20- an (Balai Pustaka)

Mr. Muhammad Yatim, dr.Aziz, Puti Bidasari, dan Sitti Nurmala adalah empat orang yang sudah menjalin persahabatan dari kecil, mereka semua berasal dari keluarga bangsawan. Selain hubungan persahabtan, diantara kedua pasangan anak muda itu juga terjalin hubungan antara kekasih. Mr. Muhammad Yatim mencintai Puti Bidasari, yang merupakan adik angkatnya dan dibesarkan dalam satu keluarga yaitu keluarga Sutan Alamsyah dan istrinya Sitti Maryam. Sedangkan Sitti Nurmala menjalin hubungan dengan dr.Aziz. Sitti Nurmala merupakan putri dari saudagar kaya di Padang yaitu Baginda Mais dan istinya Upik Bunngsu. Sutan Alamsyah sangat bahagia atas kedatangan anaknya Mr. Yatim dari negeri Belanda yang sudah menyelesaikan sekolahnya sebagai Hakim Tinggi sehingga dia mendapat gelar Master Doktor, yang pada saat itu adalah gelar tertinggi di Padang, dan hanya Mr. Yatim yang mendapat gelar tersebut.
Sutan Alamsyah Hopjaksa ingin mempersandingkan anaknya Mr. yatim dengan keponakannya Puti Bidasari yang merupakan anak kakak perempuannya yaitu Putri Renosari dan Sutan Baheram, tapi lamaran Sutan Alamsyah ditolak, karena mereka tahu asal-usul Mr. Yatim yang bukan anak kandung Sutan Alamsyah. Mereka kira Mr. Yatim adalah anak tukang pedati yang miskin, meskipun dibesarkan dan diangkat anak oleh Sutan Alamsyah bahkan sampai disekolahkan dan mendapat gelar Mester Doktor di Negeri Belanda.
Adat tetap adat dan selalu membelenggu, mengukung dan membagi dalam tingkat kehidupan masyarakat, seperti halnya Putri Renosari yang ingin menikahkan anaknya dengan seorang bangsawan lagi. Bidasari akan dikawinkan dengan turunan bangsawan tinggi Sutan Malik, kemenakan Sutan Pamenan yang gemar berjudi dan menyabung ayam.Biaya pernikahan Puti Bidasari dengan Sutan Malik ditanggung oleh Baginda Mais yang merasa diuntungkan dengan pernikahan Puti Bidasari dan Sutan Malik, karena kesempatan untuk menikahkan putrinya Sitti Nurmala dengan Mr. Yatim terbuka lebar. Akankah Mr. Yatim menikah dengan Bidasari ataukah akan bersanding dengan Sitti Nurmala sebagaimana permintaan ayah angkatnya Sutan Alamsyah, sedangkan Sitti Nurmala adalah kekasih dr. Aziz yang merupakan sahabat karibnya dari kecil.

6. Judul :SENGSARA MEMBAWA NIKMAT
     Penulis : TULIS SUTAN SATI
     Tahun : 1928

Seorang pemuda bernama Kacak, karena merasa Mamaknya adalah seorang Kepala Desa yang dikuti, selalu bertingkah angkuh dan sombong. Dia suka ingin menang sendiri. Kacak paling tidak senang melihat orang bahagia atau yang melebihi dirinya. Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya karena sifatnya yang demikian. Beda dengan Midun, walaupun anak orang miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang kampungnya. Sebab Midun mempunyai perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah serta pintar silat. Midun tidak sombong seperti Kacak.
Karena Midun banyak disukai orang,
maka Kacak begitu iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari kesempatan untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia sering mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi. Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena dia tidak senang berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil belajarnya pada Haji Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela diri dan mencari teman.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah mendapat hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Untuk melaksanakan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh bayaran untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu mereka laksanakan ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda. Sewaktu Midun dan Maun sedang membeli makanan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda itu, orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan sebelah Midun pisau.
Tapi untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak bisa dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda itu. Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun langsung ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Selama di penjara itu, Midun mengalami berbagai siksaan. Dia di siksa oleh Para sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu. Para tahanan itu baru tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu hari ber¬hasil mengalahkan si jago Para tahanan.
Karena yang paling dianggap jago oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Suatu hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang wanita cantik sedang duduk duduk melamun di bawah pohon kenari. Ketika gadis itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di bawah pohon itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis. Betapa senang hati gadis itu. Gadis itu sampai jatuh hati sama Midun. Midun juga temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu adalah Halimah.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga sangat marah pada Syehk.
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.

7.  Judul :DIBAWAH LINDUNGAN KA’BAH
     Penulis : HAMKA
     Tahun : 1938

Seorang pemuda bernama Hamid, sejak berumur empat tahun telah ditinggal mati ayahnya. Ayah Hamid mula-mula ialah seorang yang kaya. Karena itu banyak sanak saudara dan sahabatnya. Tetapi setelah perniagaannya jatuh dan menjadi melarat, tak ada lagi sanak saudara dan sahabatnya yang datang. Karena sudah tak terpandang lagi oleh orang-orang sekitarnya itu, maka pindahlah ayah Hamid beserta ibunya ke kota Padang, yang akhirnya dibuatnya sebuah rumah kecil. Di tempat itulah ayah Hamid meninggal.

Tatkala Hamid berumur enam tahun, untuk membantu ibunya ia minta kepada ibunya agar dibuatkan jualan kue-kue untuk dijajakan setiap pagi.

Di dekat rumah hamid terdapat sebuah gedung besar yang berpekarangan luas. Rumah itu telah kosong karena pemiliknya, seorang Belanda, telah kembali ke negerinya. Hanya penjaganya yang masih tinggal, yakni seorang laki-laki tua yang bernama Pak Paiman. Tetapi tak lama kemudian, rumah itu dibeli oleh seorang-orang kaya yang bernama Haji Jakfar. Isterinya bernama Mak Asiah dan anaknya hanya seorang perempuan saja yang bernama Zainab.

Setiap hari Hamid dipanggil oleh Mak Asiah karena hendak membeli makanan yang dijualnya itu. Pad awaktu itu juga ia ditanya oleh Mak Asiah tentang orang tuany6a dan tempat tinggalnya. Setelah Hamid menjawab pertanyaan itu, Mak Asiah pun meminta kepada Hamid agar ibunya datang ke rumahnya. Sejak kedatangan ibu Hamid ke rumah Mak Asiah itulah, maka persahabatan mereka itu menjadi karib dan Hamid beserta ibunya sudah dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Ketika Hamid berumur tujuh tahun, ia pun atas biaya Haji Jakfar yang baik hati itu disekolahkan bersama-sama anaknya, Zainab, yang umurnya lebih muda daripada Hamid. Pergaulan Hamid dengan Zainab, seperti pergaulan antara kakak dengan adik saja. Setelah tamat dari SD, Hamid dan Zainab pun sama-sama dilanjutkan sekolahnya ke Mulo.

Setelah keduanya tamat dari Mulo, barulah Hamid berpisah dengan Zainab, karena menurut adat Zainab harus masuk pingitan, sedang Hamid yang masih dibiayai oleh Haji Jakfar, meneruskan pelajaran ke sekolah agama di Padangpanjang. Di sekolah itulah Hamid mempunyai seorang teman laki-laki yang bernama Saleh.

Pada suatu petang, tatkala Hamid pergi berjalan-jalan di pesisir, bertemulah ia dengan Mak Asiah yang baru datang dari berziarah ke kubur suaminya. Ia naik perahu sewaan bersama-sama dua orang perempuan tua lainnya. Pada pertemuan itulah Mak Asiah mengharapkan kedatangan Hamid ke rumahnya pada keesokan harinya, karena ada suatu hal penting yang hendak dibicarakannya. Setelah Hamid datang pada keesokan harinya ke rumah Mak Asiah, maka Hamid pun dimintai tolong oleh Mak Asiah agar ia mau membujuk Zainab untuk bersedia dinikahkan dengan kemenakan Haji Jakfar yang pada waktu itu masih bersekolah di Jawa. Tetapi permintaan itu ditolak oleh Zainab dengan alasan ia belum lagi hendak menikah.

Penolakan itu sebenarnya disebabkan Zainab sendiri telah jatuh cinta kepada Hamid. Bagi Hamid sendiri, sebenarnya ia cinta kepada Zainab, hanya cintanya itu tidak dinyatakan berterus terang kepada Zainab. Karena itulah, sebenarnya suruhan Mak Asiah itu bertentangan dengan isi hatinya. Tetapi karena ia telah berhutang budi kepada Mak Asiah, maka dilaksanakan permintaan tersebut. Setelah kejadian itu Hamid pun pulang ke rumahnya, tetapi sejak itu, ia tidak pernah lagi datang ke rumah Mak Asiah, karena sejak itu ia meninggalkan kota Padang menuju Medan dan selanjutnya pergi ke tanah Suci Mekah. Dari Medan Hamid berkirim surat kepada Zainab untuk minta diri pergi menurutkan kemana arah kakinya berjalan. Surat Hamid itulah yang selalu mendampingi Zainab yang dalam kesepian itu.

9. Judul : La Hami
    Nama Pengarang : Marah Rusli
     Angkatan : 20- an

Telah dua bulan lamanya, Ompu Keli dan istrinya menunggu dengan cemas keberadaan anak angkatnya La Hami yang telah disuruh pergi olehnya bertandang ke Gunung Donggo. Perjalanannya mengendarai kuda Sumba dengan senjata parang, tombak, panah, jerat, dan tanpa membawa bekal makanan. Perjalanannya dari sini ke Kempo melalui Sanggar, dompo, padende, lalu ke Gunung Soromandi. Di Sanggar, La Hami di sambut senang oleh Ompu Ito bahkan La Hami diberi bekal makanan olehnya. Selain perjalanannya ke Gunung Donggo, La Hami juga melakukan perjalanan ke Bima. Ketika perjalanan ke Bima La Hami mengalami beberapa halangan, La Hami turun dari Gunung Soromandi ke Bima tanpa menunggang Sumba. Ketika menyeberang menuju Bima, ikutlah nelayan yang bernama Kifa dan dia menginap di rumahnya. Di tempat tinggal Kifa kebetulan sedang ada perayaan Maulid Nabi dan upacara perayaan Sirih Puan yang diramaikan dengan permainan Kuraci (berpukul-pukulan badan dengan rotan) dan permainan bersepak kaki. Melihat permainan bersepak kaki La Hami tampaknya pingin mencoba, setelah diladeni jago Wera ternyata roboh oleh La Hami. Datang orang tinggi besar menahannya untuk berlawanan, dengan terpaksa karena La Hami dilecehkan, akhirnya dia menuruti tantangan jago dari Sape tersebut dan akhirnya Sape tersebut kalah. La Hami dipanggil Sultan Bima yakni Sultan Kamarudin. Di depan pramesuri Sultan, putri-putrinya, dan para punggawa untuk diberi pekerjaan. Namun, La Hami mohon untuk pulang kampung Sanggar pamit pada kedua orang tuanya.
Malam hari Ompu Keli bercerita kepada La Hami tentang asal-usulnya. Diceritakan pada 24 tahun yang lalu, yang menjadi Datuk Rangga di negeri Sumbawa adalah Raja Ajong atau Ompu Keli dan didampingi sang istri Putri Nakia. Saat itu Raja Sumbawa adalah Sultan Badrunsyah. Kepergiannya karena keadaan pemerintahan saat itu tidak stabil. Terjadilah fitnah dari Daeng Matita yang haus jabatan. Ia bekerja sama dengan Ponto Wanike, seorang pimpinan bajak dari pulau Ragi. Pada suatu hari, Ompu Keli pergi memancing ke pantai, di situlah, Dewa mendengar tangisan bayi. Setelah didekati ternyata seorang bayi laki-laki yang berumur sekitar satu bulan. Diletakan di atas sampan beralaskan tikar jontal yang baik anyamannya, berkalung dokoh yang terbuat dari mas, berselimutkan sutera bertekad emas dan semuanya berciri dari Bima. Lalu dibawanya pulang dan di beri nama La Hami, Ina Rinda atau Putri Nakia merasakan senang karena selama ini tak berketurunan.
Terdengar kabar oleh Daeng Matita bahwa Raja Ajong yang menyingkirkan diri dari Sumbawa kini ada di pantai Sanggar dengan mengganti nama Ompu Keli dan akhirnya timbul kembali dendam lamanya yang sudah 24 tahun. Daeng Matita akan segera menyerang Sanggar. Di bagilah tugas mereka dengan Ponto Wanike menyerang pantai Sanggar dan Daeng Matita menyerang dari arah darat yakni di Lembah Jambu. Perang belum dimulai namun rencana serangan pasukan sumba telah tercium oleh pasukan Sanggar sehingga Sanggar telah bersiap-siap. Di kedua belah pihak terdapat pasukan yang mati dan luka-luka, namun jumlah yang celaka lebih banyak di pihak Sumba. Dengan gagah berani, Ponto Wanike bisa dibunuh oleh La Hami. Kemudian pasukan Sanggar menuju lembah Jambu untuk membabantu Raja Ajong dan Lalu Jala, di tengah perjalanan pasukan yang dipimpin Daeng Matita dihadang oleh pasukan Sanggar dan peperangan terjadi dengan dahsyatnya. Pasukan Sumba terlihat kewalahan karena harapan bantuan dari pasukan lain tidak kunjung datang sementara pasukan Sanggar mendapat bantuan dari Dompo dan Kempo. Semakin paniklah Daeng Matita. Datanglah pasukan La Hami tambahlah kacau pasukan Sumba. Sebagian besar pasukan Sumba terbunuh, Daeng Matita melarikan diri setelah menebas rusuk Raja Ajong. Namun setelah dikejar oleh pasukan Sanggar yang terpencar akhirnya Daeng Matita bisa dilumpuhkan, sedangkan pasukan yang tersisa diampuni dan kembali ke Sumba.
Sultan Komarudin yang sedang asik bercengkerama dengan permaisuri Cahya Amin dan putrinya Putri Sari Langkas, teringatlah bahwa suatu saat tak ada lagi yang bisa menggantikan baginda karena tak punya anak putra. Anak sulungnya telah diculiknya 24 tahun yang lalu, sedangkan Putri Sari Langkas adalah putri kedua. Akhirnya teringatlah sang permaisuri kepada pemuda yang bernama La Hami karena umur dan perawakannya mirip dengan putra sulungnya bahkan mirip dengan Sultan Komarudin. Khayalannya dengan La Hami akhirnya membuat penasaran yang semakin mendalam. Namun, permaisuri tidaklah yakin karena pemuda itu bernama La Hami yang telah membinasakan Daeng Matita dan Ponto Wanike dari Sumbawa. Cahya Amin lalu membayangkan dan mencari-cari sebab Ompu Keli ternyata Raja Ajong atau Datu Ranga Sumbawa dulu yang menyingkir ke pantai Sanggar 24 tahun lalu. Namun, permaisuri ragu karena Raja Ajong seingat permaisuri tidak punya anak. Akhirnya permaisuri mengutus pengawal untuk mencari tahu tentang La Hami ke Sanggar. Beberapa hari kemudian, utusan itu pulang memberi kabar bahwa yang sebenarnya La Hami adalah anak Ompu keli, Raja Ajong Sanggar yang dulu adalah Datu Ranga Sumbawa. La Hami adalah anak angkat yang ditemukan di pantai Sanggar ketika masih berumur sekitar satu bulan dengan tanda-tanda ada sehelai tilam daun jontal, sehelai selimut buatan Bima, dan dokoh mas yang amat permainya. Mendengar kabar Cahya Amin sangat gembira karena pastilah La Hami itu putranya dan dengan segera beberapa hari kemudian menyuruh utusan untuk menjemput La Hami.
Kabar yang menyenangkan seisi istana Sanggar ini membuat Raja Sanggar, Sultan Amarullah, Raja Ajong, Lalu Jala, La Hami, dan Putri Nakia datang menghadap Sultan Abdul Azis untuk mengabarkan perihal yang sebenarnya. Sebelum datang rombongan dari Sanggar, terdengarlah kabar kalau Sultan Bima Sultan Kamaruddin akan datang ke Dompo untuk menjemput putranya La Hami. Perjalanan dari Dompo ke Sanggar, Sultan Kamaruddin diiring oleh Raja Ajong, Permaisuri Cahya Amin dan Putri Sari Langkas diiring oleh Putri Nakia, dan La Hami dengan Lalu Jala. Dalam perjalanan menuju Sanggar terlihatlah pula kalau Lalu Jala menyukai adik La Hami yakni Putri Sari Langkas. Pada suatu hari, Sultan Bima menyampaikan maksudnya melamar Putri Nila Kanti untuk La Hami dan Raja Sanggar Sultan Amarullah melamar Putri Sari Langkas kepada Sultan Bima Sultan Kamaruddin untuk Lalu Jala. Pada hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah perkawinan keempat sejolo ini dengan meriah. Beberapa bulan kemudian, La Hami dinobatkan menjadi Sultan Bima dengan gelar Sultan Abdul Hamid dan Lalu Jala dinobatkan menjadi Sultan Sanggar dengan gelar Sultan Abdul Jalal.

10. Judul : APA DAYAKU KARENA AKU SEORANG PEREMPUAN
      Penulis : Sutan Nur IskandaTahun : 1923
       Angkatan : 20 -an

Aku mau bersekolah karena Mamaknya orang yang berkuasa. Mamak lebih berkuasa daripada Bapak. Adat kebiasaan di kampung, kemenakan lebih dahulu ditawarkan oleh Mamaknya sebelum di berikan orang lain. Mamak meninggal, hilang sudah tempat pergantunganku. Tunangannya datang ke rumah. Ia ingin pergi ke Jakarta karena tidak nyaman tinggal di kampung. Ia adalah pengganti Ibu yang sudah meninggal. Ia berjanji jika sudah setahun ia akan kembali ke kampung. Aku risau, karena sebagian besar anak laki-laki yang sekolah di Jakarta tidak mau pulang ke kampung halaman. Teman-teman banyak yang datang mengadu kepadaku akibat menikah muda. Aku tidak boleh membantah, karena ini adalah kehendak orang tua. Sebagian besar suami tidak bertanggung jawab atas masalah kawin paksa. Mereka menganggap perempuan seperti benda yang tidak bernyawa. Semua keluarga pasti malu kalau anak gadisnya tidak cepat-cepat menikah, tetapi menikah di bawah umur mendatangkan banyak masalah. Ani adalah perempuan yang berterus terang. Harta yang ia punya adalah milik Mamaknya dan hasil usaha Bapaknya. Seorang ayah bersifat otokratik terhadap anak perempuannya, bila ia menyekolahkan anaknya dan terlibat dengan cinta. Ani terpaksa menulis surat surat untuk kekasihnya supaya menjemputnya segera, walaupun ia tahu kehidupan kekasihnya belum mapan. Saat kekasihnya menerima surat, permintaannya belum dapat dikabulkan. Kekasihnya ingin ia menikah ketika umurnya sudah cukup. Bapak Ani meminta kekasih Ani untuk megirim ulang surat dan perhelatan akan segera berlangsung. Kalau tidak mengirim surat putus, ia harus mengirim surat talak untuk isterinya. Keluarga harus menutup malu jika anak perempuannya tidak cepat-cepat berkeluarga. Menikah sebelum berpencarian akan menimbulkan masalah besar dalam keluarga. Pandangan generasi tua selalu berkaitan dengan Agama Islam, menikah di usia tua seperti meniru orang Belanda. Ayah merasa menyesal karena Mamak menyekolahkan Ani karena akhirnya Ani tidak menurut dengan orang tua. Sesuatu yang baru sulit dirubah walaupun ada kebenarannya.
Mamak Datok Hitam mempunyai pikiran yang sama dengan Ani. Setelah terima surat dari kekasihnya, Mamak Datok Hitam akan pulang ke kampung dan menjelaskan yang sebenarnya. Amak Datok Hitam bukanlah Mamak kandung, ia selalu di dengar dan di hormati masyarakat kampung. Peranan Mamak Datok Hitam adalah memberika budi pekerti yang lembut, serta memberikan jasa, pendidikan, dan pertanian kepada kampung. Pikiran Mamak Datok Hitam selalu berkaitan dengan pernikahan usia muda. Ia selalu diterima dengan 2 cara, dengan setuju, dan disindir secara halus yang masih kebiasaan rdilakukan oleh masyarakat kampung. Durkana menangguhkan perkawinan karena ingin menguatkan diri dengan senjata hidup dan Ani yang berjanji akan menunggu waktu yang tepat. Mak Datok Hitam berperan bahwa laki-laki harus menaruh belas kasihan terhadap isteri. Mamak datok Hitam berpendapat bahwa laki-laki lupa dengan perasaan perempuan, seperti orang bangsawan yang menganiaya kaum perempuan dan orang tua yang ingin beristeri muda.

11. Judul: PEMBALASAN
      Karya: H. S. D. Muntu
      Angkatan 20-an

Suatu cerita terjadi di daerah Goa/Gowa yang waktu itu dikuasai oleh Belanda. Daeng Mapata mempunyai dua anak yang satu bernama I Marabintang (perempuan) dan I Mappabangka (laki –laki). Ketika Daeng Mapata meninggal dunia. I Marabintang sudah beranjak dewasa sedangkan adiknya, I Mappabangka baru berumur 6 tahun. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Daeng Mapata menyerahkan kedua anaknya kepada Pa Pulando selaku orang kepercayaannya.
Amanat yang diberikan oleh Daeng Mapata ini rupanya dibalas dengan tidak baik oleh oleh Pa Pulando. Dalam hatinya telah muncul akal busuk. Diam-diam, dia rupanya hendak memanfaatkan kesempatan ini demi meraih segala harta dan kekayaan yang dimiliki oleh Daeng Mapata. Dia bermaksud hendak melenyapkan I Mapabangka. Sedangkan I Marabintang akan dikawinkan dengan anaknya yang bernama I Bodollahi. Dengan cara begitu, maka secara otomatis semua kekayaan Mapata akan jatuh ke tangan keluarga Pa Pulando.
Siasat itu pun dilaksanakan. Pada suatu malam yang sunyi Daeng Manrangka dan kawan–kawannya yang merupakan kelompok Penyamun ini, melarikan Mappabangka ke dalam hutan. Rupanya kabar penculikan itu sampai ke telinga patroli polisi pemerintah yang disampaikan oleh seseorang , yang tidak lin adalah orang-orang kepercayaan Pa Pulando sendiri. Para Penyamun yang dipimpin oleh Daeng Manrangka ini diikuti oleh sepasukan patroli pemerintah samapi ke sarangnya. Kemudian terjadilah pertempuran dahsyat antara pasukan penyamun dengan pasukan patroli polisi. Kedua belah pihak banyak yang menjadi korban. Akan tetapi, kemenangan sebenarnya ada di pihak pasukan patroli. Manrangka sendiri melarikan diri sambil membawa lari I Mappabangka ke Bonthain.
Tidak beberapa lama kemudian, sersan yang memimpin penyerangan ke sarang penyamun pada malam itu oleh pimpinannya dipindahkan ke Bonthain. Ia akhirnya bertemu lagi dengan Daeng Manrangka, kepala penyamun itu di tengah hutan. Dalam pertempuran itu, sersan polisi langsung membunuh Daeng Manrangka. I Mappabangka yang masih kecil, oleh sersan polisi diserahkan kepada tuan Petorok Bonthain, dan tak lama kembali diserahkan kepada sersan untuk dipelihara.
Setelah sukses di Bonthain, sersan itu dipindah tugaskan ke Aceh. I Mappabangka, anak angkatnya itu dibawa serta dan disekolahkan di Aceh. Tapi malang nasib si sersan di Aceh, setelah istrinya meninggal dunia. Dalam sebuah pemberontakan, si sersan itu mati dipancung oleh para pejuang Aceh. Sersan itu meninggal, I Mappabangka diserahkan kepada seorang letnan yang menjadi atasan sersan itu. Akan tetapi, tidak berapa lama kemudian letnan itu pulang ke Belanda dan olehnya I Mappabangka diserahkan ke sipir penjara di Kotaraja untuk dididik bekerja. Sampai besar I Mappabangka ikut pada sipir penjara di Kotaraja, hingga dia menjadi seorang mandor di penjara itu. Ketika I Mappabangka dipindah tugaskan ke Sawah Lunto, disana ia dibuang dari Makassar karena telah membunuh Pua Nuhung, kawan Pa Pulando. Pertemuan I Mappabangka dengan I Soreang di sawah Lunto itu sangat mengharukan. I Soreang sangat kaget bertemu dengan I Mappabangka, sebab di kira I Mappabangka telah meninggal dunia sewaktu terjadi penyerangan ke sarang penyamun pimpinan Daeng Manrangka.
Sungguh gembiranya hati I Soreang bertemu lagi dengan putra seorang bangsawan dan punggawa yang sangat dia kagumi itu. Dan itu berarti, bahwa usaha-usahanya adalah mencegah pembunuhan yang akan dilakukan oleh Daeng Manrangka dan kawan-kawannya terhadap I Mappabangka, yaitu dengan jalan memberi tahu kepada patroli polisi, tempo dulu itu berhasil menyelamatkan I Mappabangka. Semua itu diceritakan I Soreang pada Mappabangka, sehingga ia mengetahui siapa sebenarnya I Soreang atau Uak Sore. Kedua orang ini kemudian pulang ke Makassar. Karena keberanian dan besarnya jasa yang diperbuat oleh I Soreang maka, dia kemudian dibebaskan dari hukuman.

KESIMPULAN DAN SARAN

A.  Simpulan
        Karya sastra di Indonesia sangat banyak macamnya oleh karena itu perlu periodisasi guna mempermudah mengelompokkan karya sastra di Indonesia. Disini penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1.  Periodisasi artinya “pembabakan”. Periodisasi sastra berarti ”upaya pembabakan karya sastra”.
2.  Periodisasi ini digunakan sebagian besar penulis sejarah sastra yang ada kecuali yang tidak mengakui sastra sebelum kemerdekaan.
3.  Angkatan 20-an disebut juga angkatan balai pustaka karena kebanyakan hasil karyanya diterbitkan oleh Balai Pustaka.
4. hasil karya sastra angkatan 20-an sangat terikat dengan kebudayaan daerah, hal ini dibuktikan lewat hasil karyanya yang menggunakan bahasa daerah,pepatah,dan peribahasa , serta menceritakan tentang budaya setempat.

B.  Saran
         Berikut ini adalah beberapa saran yang penulis dapat sampaikan terhadap karya sastra di Indonesia :
1.  Perawatan karya-karya sastra di Indonesia perlu untuk di tingkatkan, khususnya yang banyak mengandung unsur sejarah .
2.    Pengkajian yang lebih mendalam tentang karya sastra Indonesia perlu ditingkatkan lagi.Mari kita terus mengembangkan dan terus berkarya untuk bangsa kita Indonesia agar karya sastra kita maju.

DAFTAR PUSTAKA

http://kaleanakbetawi.blogspot.co.id/2014/12/periodiasi-angkatan-20-30-45-66.html


LAMPIRAN
Biografi Tokoh Sastrawan Indonesia

1.   Biografi Abdul Muis
Nama                           : Abdul Muis
Lahir                            : Sungai Puar-Bukit Tinggi, 3 Juli 1883
Meninggal                   :Bandung, 17 Juni 1959
Pendidikan                  : a)   Sekolah Dasar
  b)   STOVIA /Sekolah dokter (tidak lulus)

Pengalaman kerja        : - Pegawai Negeri
  - Wartawan

Pengalaman Organisasi :- Pengurus Besar Sarekat Islam
    - Pendiri Komite Bumiputera
                                 - Pendiri Persatuan Perjuangan Priangan
                                 - Anggota Komite Indie Weerbaar
Perjuangan                  :
- Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui tulisannya di harian de Express
- Menentang rencana Pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaannya melalui Komite Bumiputera
- Memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta
- Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School - Institut Teknologi Bandung (ITB)

Karya Sastra                :a) Salah Asuhan        
                              b) Tanda Kehormatan
                               c) Pahlawan Kemerdekaan Nasional

Meninggal dan dimakamkan   : Bandung, 17 Juni 1959

Melawan Belanda Dengan Pena
Perlawanan terhadap penjajahan Belanda dilakukannya tanpa putus-putus dengan berbagai cara. Dengan ‘pena’-nya yang tajam, partai politik, komite perlawanan orang pribumi, bahkan memimpin mogok kerja. Sebagai seorang wartawan, tulisan Abdul Muis merupakan tulisan perlawanan terhadap Belanda.
Begitu juga sebagai Pengurus Besar Sarekat Islam, ia selalu menanamkan semangat perlawanan kepada anggotanya. Ia juga mendirikan Komite Bumiputera bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya sebagai perlawanan terhadap rencana Pemerintah Belanda yang akan merayakan hari kemerdekaannya yang ke seratus di Indonesia.
Tokoh yang menjadi utusan ke Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar sehubungan dengan terjadinya Perang Dunia pertama ini, juga merupakan tokoh di belakang cikal bakal berdirinya Institut Teknologi Bandung (ITB). Pejuang yang juga terkenal sebagai sastrawan ini, hingga Indonesia merdeka tetap melakukan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.
Sebelum terjun menekuni dunia kewartawanan, pria yang lahir di Sungai Puar, Bukit Tinggi, 3 Juli 1883, ini sempat menjadi pegawai negeri. Pekerjaan itu ia geluti beberapa waktu saja setelah memutuskan untuk tidak meneruskan sekolahnya di STOVIA (Sekolah dokter). Namanya mulai dikenal oleh masyarakat ketika karangannya yang banyak dimuat di harian de Express selalu mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsaIndonesia.
Untuk mengefektifkan perjuangannya, ia selanjutnya terjun berpolitik praktis dengan menjadi anggota Sarekat Islam. Di organisasi tersebut ia diangkat menjadi salah seorang anggota Pengurus Besar. Kepada anggota sarekat, ia selalu menanamkan semangat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Bahkan ketika Kongres Sarekat Islam diadakan pada tahun 1916, ia menganjurkan agar Sarekat Islam (SI) bersiap-siap menempuh cara kekerasan menghadapi Belanda jika cara lunak tidak berhasil.
Perlawanan tidak hanya ditujukannya kepada Pemerintahan kolonial Belanda, tapi terhadap ajaran-ajaran yang tidak disetujuinya. Seperti selama kesertaannya di Sarekat Islam, iaselalu berjuang agar diadakan disiplin partai, yang intinya untuk mengeluarkan anggota-anggota yang sudah dipengaruhi oleh paham komunis.

Pada tahun 1913, ia bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Ki Hajar Dewantara, mendirikan Komite Bumiputera. Komite ini dibentuk awalnya adalah untuk menentang rencana Pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis. Rencana Pemerintah Belanda tersebut memang sesuatu yang ironis. Di negeri yang sedang di jajahnya, mereka hendak merayakan hari kemerdekaannya secara besar-besaran. Itulah yang ditentang oleh para tokoh pergerakan nasional tersebut. Namun oleh karena perlawanan itu, ia akhirnya ditangkap oleh Pemerintah Belanda.
Ketika Perang Dunia I terjadi, bangsa ini pun siap sedia mengatasi kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Untuk itu, pada tahun 1917, Abdul Muis diutus ke Negeri Belanda sebagai anggota Komite Indie Weerbaar guna membicarakan masalah pertahanan bagi bangsa Indonesia.
Selain itu, ia juga berusaha mempengaruhi tokoh-tokoh bangsa Belanda agar mendirikan sekolah teknik di Indonesia. Usahanya tersebut beberapa tahun kemudian membuahkan hasil. Oleh Belanda didirikanlah Technische Hooge School di Bandung yang dikemudian hari berganti nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) sekarang.
Abdul Muis terkenal sebagai orang yang selalu membela kepentingan rakyat kecil. Ia sering berkunjung ke daerah-daerah untuk membela rakyat kecil tersebut sambil membangkitkan semangat para pemuda agar semakin giat berjuang untuk kemerdekaan bangsa dan tanah air Indonesia.
Melawan Belanda sepertinya ia tidak kehabisan ide, berbagai cara perlawanan pernah dilakukannya termasuk mengajak kaum buruh untuk melakukan mogok. Seperti yang dilakukannya pada tahun 1922, ia memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta. Karena tindakannya itu, ia kembali ditangkap oleh Pemerintah Belanda dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat.
Di samping terkenal sebagai pejuang kemerdekaan, ia juga terkenal sebagai seorang sastrawan Indonesia. Karya sastra yang berjudul “Salah Asuhan” yang sangat terkenal itu merupakan salah satu dari karyanya.
Sang Pahlawan Pergerakan Nasional dan Sastrawan yang hingga kemerdekaan ini tetap tinggal di Jawa Barat berprinsip bahwa perjuangan tidak pernah berhenti. Setelah kemerdekaan ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan, suatu persatuan perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada tanggal 17 Juni 1959, pahlawan ini meninggal diBandung dan dimakamkan di sana juga.
























Analisis Novel Angkatan 20-an
Sitti Nurbaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Siti Nurbaya)

Sitti Nurbaya
Sitti Nurbaya (sampul depan).PNG
Sampul cetakan ke-45
Pengarang
Judul asli
Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai
Negara
Bahasa
Genre
Novel
Penerbit
Tanggal rilis
1922
Jenis media
Cetak (kulit keras & lunak)
Halaman
291 (cetakan ke-45)
9789794071670 (cetakan ke-45)
Nomor OCLC



Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (sering disingkat Sitti Nurbaya atau Siti Nurbaya; Ejaan Republik Sitti Noerbaja) adalah sebuah novel Indonesia yang ditulis oleh Marah Rusli. Novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit nasional negeri Hindia Belanda, pada tahun 1922. Penulisnya dipengaruhi oleh perselisihan antara kebudayaan Minangkabau dari Sumatera bagian barat dan penjajah Belanda, yang sudah menguasai Indonesia sejak abad ke-17. Pengaruh lain barangkali pengalaman buruk Rusli dengan keluarganya; setelah memilih perempuan Sunda untuk menjadi istrinya, keluarganya menyuruh Rusli kembali ke Padang dan menikah dengan perempuan Minang yang dipilihkan.
Sitti Nurbaya menceritakan cinta remaja antara Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta tetapi terpisah ketika Samsu terpaksa pergi ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan. Belum lama kemudian, Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Meringgih (yang kaya tetapi kasar) sebagai cara untuk ayahnya hidup bebas dari utang; Nurbaya kemudian dibunuh oleh Meringgih. Pada akhir cerita Samsu, yang menjadi anggota tentara kolonial Belanda, membunuh Meringgih dalam suatu revolusi lalu meninggal akibat lukanya.
Ditulis dalam bahasa Melayu yang baku dan termasuk teknik penceritaan tradisional seperti pantun, novel Sitti Nurbaya menyinggung tema kasih tak sampai, anti-pernikahan paksa, pengorbanan, kolonialisme, dan kemodernan. Novel yang disambut baik pada saat penerbitan pertamanya ini sampai sekarang masih dipelajari di SMA-SMA se-Nusantara. Novel ini pernah dibandingkan dengan Romeo dan Julia karya William Shakespeare serta legenda Cina Sampek Engtay.

Penulisan
Sitti Nurbaya ditulis oleh Marah Rusli, seorang Minang yang berpendidikan Belanda dalam ilmu kedokteran hewan.[1] Pendidikan itu menyebabkan Rusli menjadi semakin seperti orang Eropa. Dia meninggalkan beberapa tradisi Minang, tetapi tidak dalam pandangannya bahwa wanita harus berpatut kepada pria. Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra Indonesia berlatar belakang Marxis, sifat Rusli yang seperti orang Eropa itu mempengaruhi bagaimana budaya Belanda dijelaskan dalam Sitti Nurbaya, serta suatu adegan di mana kedua tokoh utama berciuman.[2] A. Teeuw, seorang kritikus sastra Indonesia asal Belanda dan guru besar di Universitas Indonesia, mencatat bahwa penggunaan pantun dalam novel ini menunjukkan bahwa Rusli telah banyak dipengaruhi tradisi sastra lisan Minang, dengan dialog yang berkepanjangan menunjukkan bahwa ada pengaruh dari tradisi musyawarah.[3]
Kritikus sastra Indonesia Zuber Usman menunjukkan bahwa ada pengalaman lain yang lebih bersifat pribadi yang telah mempengaruhi penulisan Sitti Nurbaya serta tanggapan positif Rusli akan kebudayaan Eropa dan kemodernan. Menurut Usman, setelah Rusli menyatakan bahwa dia hendak mengawini seorang wanita Sunda, yang menyebabkan kehebohan di keluarganya, dia disuruh kembali ke kota kelahirannya dan dijodohkan dengan wanita Minang. Hal ini menyebabkan konflik antara Rusli dan keluarganya.[4]
Alur
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/4/4b/Sitti_Nurbaya_confiding_to_her_mother.png/220px-Sitti_Nurbaya_confiding_to_her_mother.png
Nurbaya diberi nasihat oleh ibunya setelah Samsu pergi ke Batavia; ia takut suaminya tidak lagi mencintainya.
Di Kota Padang pada awal abad ke-20, Samsulbahri dan Sitti Nurbaya—anak dari bangsawan Sutan Mahmud Syah dan Baginda Sulaiman—adalah tetangga dan teman kelas yang masih remaja. Mereka mulai jatuh cinta, tetapi hanya bisa mengakui hal tersebut setelah Samsu mengaku bahwa dia hendak ke kota Batavia (sekarang Jakarta) untuk melanjutkan pendidikannya.
Sementara, Datuk Meringgih, yang iri atas kekayaan Sulaiman dan mengkhawatirkan persaingan bisnis, berusaha untuk menjatuhkannya. Anak buah Meringgih menghancurkan hak milik Sulaiman, yang membuatnya menjadi bangkrut dan terpaksa meminjam uang dari Meringgih. Sulaiman yang tidak dapat melunasi utang kepada Datuk Meringgi pun dihadapkan kepada dua pilihan sulit, menyerahkan Nurbaya untuk menjadi istri Datuk Meringgi atau menyerahkan dirinya sendiri sebagai tahanan. Terdorong oleh rasa sayang kepada ayahnya, Nurbaya yang sudah tidak beribu itu pun terpaksa menyerahkan diri kepada Datuk Meringgi.
Dalam suatu surat ke Samsu, Nurbaya menyatakan bahwa mereka tidak dapat bersama lagi. Namun, setelah muak dengan watak Meringgih yang kasar itu, Nurbaya melarikan diri ke Batavia supaya bisa bersama Samsu; mereka akhirnya menjalin cinta kembali. Pelarian Nurbaya ini dilakukannya setelah Sulaiman meninggal. Pelarian Nurbaya tidak berjalan mulus, Datuk Meringgih kembali melancarkan rencana jahatnya dengan menuduh Nurbaya membawa hartanya ke Jakarta. Nurbaya pun harus kembali ke Padang untuk menyelesaikan tuduhan tersebut. Sekembalinya Nurbaya ke Padang, Datuk Meringgih pun melancarkan rencana jahatnya dan membunuh Sitti Nurbaya dengan cara meracuninya. Mendapati kekasihnya meninggal, gairah hidup Samsu pun lenyap, dia pun berusaha bunuh diri menggunakan pistol, namun tidak berhasil. Samsu kemudian mengganti namanya menjadi Mas—kebalikan dari Sam, nama panggilan Samsu—dan bergabung menjadi prajurit kolonial. Oleh karena tidak memiliki alasan untuk hidup sebab wanita yang dicintainya (ibunya dan Sitti Nurbaya) telah meninggal, dia pun tidak mempedulikan keselamatan. Setiap ditugaskan ke medan perang, Samsu berharap bisa mati sehingga dapat bergabung dengan ibunya dan Nurbaya di alam kubur. Namun sayang, usaha "bunuh diri" Samsu tidak tersampaikan, dia justru berhasil mengalahkan musuh-musuhnya sehingga dipandang sebagai prajurit berprestasi dan mendapat pangkat letnan.
Sepuluh tahun setelah peristiwa Samsu bunuh diri pasca-kematian Nurbaya, Meringgih memimpin suatu revolusi melawan pemerintah Hindia Belanda sebagai protes atas kenaikan pajak. Samsu ditugaskan ke Padang untuk menumpas Meringgi. Dalam peperangan ini, Samsu menemukan dan membunuh Meringgih, tetapi dia sendiri terluka berat. Setelah bertemu dengan ayahnya dan memohon maaf, dia meninggal.

Tokoh
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/9/92/Sitti_Nurbaya_and_Samsulbari_in_Batavia.png/220px-Sitti_Nurbaya_and_Samsulbari_in_Batavia.png
Sebuah gambaran dari Nurbaya dan Samsu di Batavia, dari edisi asli pada tahun 1922


Sitti Nurbaya
Sitti Nurbaya (juga dieja Siti Nurbaya; disingkat menjadi Nurbaya) adalah salah satu protagonis utama. Menurut penulis cerpen dan kritikus sastra Indonesia Muhammad Balfas, Nurbaya merupakan tokoh yang dapat mengambil keputusan sendiri, sebagaimana terwujud ketika dia memutuskan untuk menikah Datuk Meringgih ketika Meringgih mengancam ayahnya, kesediaannya untuk mendorong Samsu, dan pelariannya dari Meringgih setelah ayahnya meninggal. Dia juga cukup mandiri untuk pergi ke Batavia sendiri untuk mencari Samsu. Tindakannya dianggap melanggar adat, dan ini akhirnya membuat dia diracuni.[5] Kecantikannya, sehingga disebut "bunga Padang", dianggap sebagai wujud fisik dari hatinya yang baik dan beradab.[6]

Samsulbahri
Samsulbahri (juga dieja Sjamsulbahri; disingkat menjadi Samsu) adalah protagonis pria utama. Dia dinyatakan sebagai orang yang berkulit kuning langsat, dengan mata sehitam tinta; namun, dari jauh, dia dapat dikira orang Belanda. Sifat fisik ini dijelaskan oleh Keith Foulcher, seorang dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Sydney, sebagai wujud sifatnya yang suka menjadi seperti orang Belanda.[7] Penampilannya yang menarik juga dianggap sebagai wujud sifatnya yang baik dan beradab.[6]

Datuk Meringgih
Datuk Meringgih adalah antagonis utama dari novel. Dia seorang pedagang yang dibesarkan di keluarga yang miskin, lalu menjadi kaya setelah masuk ke dunia kriminal. Balfas menyatakan bahwa dorongan utama Meringgih dalam cerita ialah rasa iri dan keserakahan, sebab dia tidak dapat "menerima bahwa ada yang lebih kaya daripada dia".[8] Balfas beranggapan bahwa Meringgih adalah tokoh yang "digambarkan dengan hitam dan putih, tetapi mampu untuk menyebabkan konflik di sekitarnya".[5] Menjelang akhir novel, Meringgih menjadi "pejuang pasukan anti-kolonialis", didorong oleh keserakahannya; menurut Foulcher, gerakan anti-kolonialis ini kemungkinan besar bukanlah usaha untuk memasukkan komentar anti-Belanda.[9]



Gaya penulisan
Menurut Bakri Siregar, diksi dalam Sitti Nurbaya tidak mencerminkan gaya bahasa Marah Rusli sendiri, melainkan bahasa Melayu dengan "gaya Balai Pustaka", yang diwajibkan penerbit itu. Akibatnya, gaya Rusli yang dipengaruhi sastra lisan itu, yang sering mengabaikan perkembangan alur untuk menjelaskan sesuatu "menurut kesenangan dan selera hati [penulis]", dianggap kurang.[10]
Sitti Nurbaya juga memuat berbagai pantun dan deskripsi klise,[11] biarpun memang tidak sebanyak karya sastra Melayu lain.[12] Pantun digunakan oleh Nurbaya dan Samsul untuk menjelaskan perasaan mereka,[3] seperti di bawah ini:
Padang Panjang dilingkari bukit,
bukit dilingkari kayu jati,
Kasih sayang bukan sedikit
dari mulut sampai ke hati.
[13]
Pesan utama dari novel disampaikan dengan dialog panjang antara tokoh-tokoh dengan dikotomi moral, untuk menunjukkan alternatif dari pendirian penulis dan, dengan demikian, "menunjukkan alasan yang jelas mengapa penulis itu benar". Namun, pandangan yang "benar" (punyua penulis) ditunjukkan dengan kedudukan sosial dan moral tokoh yang mengajukan pandangan tersebut.[14]

Tema
Sitti Nurbaya cenderung dianggap mempunyai tema anti-pernikahan paksa, atau menjelaskan perselisihan antara nilai Timur dan Barat.[8] Novel ini juga pernah dinyatakan sebagai suatu "monumen perjuangan pemuda-pemudi yang berpikiran panjang" melawan adat.[1] Namun, menurut Balfas tidaklah adil apabila Sitti Nurbaya dianggap hanya sebuah cerita tentang kawin paksa, sebab hubungan antara Nurbaya dan Samsu dapat diterima masyarakat.[5] Dia menegaskan bahwa novel ini merupakan perbandingan pandangan Barat dan tradisional terhadap pernikahan, yang dilengkapi dengan kritik sistem mas kawin dan poligami.[11]

Penerimaan
Keluarga Rusli tidak menerima novel Sitti Nurbaya dengan baik. Dalam sepucuk surat, ayahnya telah mengutuk Rusli, sehingga Rusli tidak pernah kembali ke Padang.[4] Novelnya yang berikutnya, Anak dan Kemenakan (1958) bahkan lebih kritis terhadap kekakuan generasi sebelumnya.[15]
Sampai setidaknya tahun 1930, Sitti Nurbaya merupakan salah satu karya Balai Pustaka yang paling populer, sering dipinjam dari perpustakaan. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sitti Nurbaya diajarkan sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang klasik; ini menyebabkan novel ini "lebih sering dibaca dalam bentuk sinopsis daripada teks asli oleh berbagai generasi siswa SMA".[1] Sampai tahun 2008, buku ini sudah dicetak ulang 44 kali.[16]
Sitti Nurbaya sering dianggap salah satu karya sastra Indonesia yang paling penting,[17] dengan cerita cintanya dibandingkan dengan Romeo dan Julia karya William Shakespeare dan legenda Cina Sampek Engtay.[18] Beberapa kritikus Barat, misalkan Teeuw dan penulis A. H. Johns, menganggap novel ini sebagai novel Indonesia pertama. Azab dan Sengsara, yang diterbitkan pada tahun 1920,[19] dianggap kurang berkembang dalam tema kawin paksa dan segi negatif adat.[17]
Teeuw menulis bahwa pesan moral dan sentimentalitas dalam Sitti Nurbaya terlalu berlebihan, seperti dalam Azab dan Sengsara. Namun, dia beranggapan bahwa alur Sitti Nurbaya lebih menarik untuk pembaca dari latar belakang Barat daripada karya Merari Siregar itu.[3] Menurut Siregar, Rusli bertindak sebagai dalang dalam novel ini, sehingga tokoh kadang-kadang dikesampingkan supaya penulis dapat menyatakan sesuatu secara langsung kepada pembaca. Dia juga beranggapan bahwa alur terasa terpaksa, seakan penulis menghalangi aliran cerita.[12] Dia juga beranggapan bahwa Rusli telah menjadi juru bicara pemerintah kolonial, sebab Samsu, tokoh protagonis, menjadi prajurit Belanda dan Meringgih, tokoh antagonis, pemimpin kaum revolusioner; dia juga menyalahkan antipati Rusli terhadap agama Islam dalam novel.[20]
Sitti Nurbaya telah mengilhami berbagai penulis, termasuk Nur Sutan Iskandar, yang menyatakan bahwa dia menulis Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1924) sebagai akibat membaca novel Rusli itu; novelnya yang berikutnya, Cinta yang Membawa Maut (1926), juga mempunyai tema yang sama. Alur cerita Sitti Nurbaya sering didaur ulang, sehingga Balfas beranggap bahwa cerita yang mirip menggunakan "rumus 'Sitti Nurbaya'".[11]

Adaptasi
Sitti Nurbaya sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Malaysia pada tahun 1963.[17] Novel ini sudah dijadikan sinetron dua kali. Yang pertama, yang keluar pada tahun 1991, disutradarai Dedi Setiadi dan dibintangi Novia Kolopaking sebagai Nurbaya, Gusti Randa sebagai Samsu, dan HIM Damsyik sebagai Meringgih.[21][22] Yang kedua, yang keluar pada Desember 2004, diproduseri MD Entertainment dan ditayangkan di Trans TV. Disutradarai oleh Encep Masduki dan dibintangi Nia Ramadhani sebagai Nurbaya, Ser Yozha Reza sebagai Samsu, dan Anwar Fuady sebagai Meringgih, sinetron ini memperkenalkan tokoh baru sebagai persaingan Nurbaya untuk cinta Samsu.[18]
Pada tahun 2009, Sitti Nurbaya menjadi salah satu dari delapan karya sastra Indonesia klasik yang dipilih oleh penyair Taufik Ismail untuk dicetak ulang dalam edisi khusus Indonesian Cultural Heritage Series; Sitti Nurbaya diberi sampul berdesain kain Minang.[23][24] Artis Happy Salma dipilih sebagai ikon selebritis novel ini.[25]

0 komentar:

Posting Komentar