cerpen "kelabu"

KELABU

karya Valencia perdana rizal

22 Maret 2014 pukul 20:42

Ilalang itu terus menari. Menari dengan liukan liukan lincah mengikuti tempo angin yang sepoi. Pohon Cemara itu berdiri angkuh menatap danau mini dengan air yang jernih. Ditambah, nyanyian burung burung yang berkoloni bak paduan suara yang mengalunkan melodinya dengan apik. Mataku tertuju pada pemimpin burung itu. Terbang begitu lincah dan cepat, tampak beda dari burung burung lainnya. Terus kupandangi pergerakannya yang beda itu. Dan akhirnya, Oops! Pemimpin burung yang sedari tadi kupandangi menabrak keangkuhan pohon Cemara yang lebat itu. Aku tercengang dan tertegun sebentar. Aku berjalan mendekati jasad burung itu yang ternyata adalah burung pipit. Sangat indah! Warna bulunya sangat kontras. Seperti pelangi yang timbul sesudah hujan. Kembali kuamati pergerakannya. Oh tidak! Burung itu tidak bergerak sama sekali. Apakah sudah..... Kembali kuamati dan ternyata benar. Kepalanya sedikit memar dan salah satu kakinya juga patah. Sungguh malang nasib Burung Itu. Kuambil jasad Burung itu. Untung saja isi perut atau kepalanya tidak keluar. Kalau sampai keluar, aku tidak akan makan seminggu! Aku menggali lubang tepat disebelah Pohon Cemara itu. Setelah kurasa lubangnya cukup dalam, aku masukkan jasad burung itu dengan perlahan, takut jika akan membuat kaki satunya akan patah juga. Aku ambil sepucuk ilalang yan paling lincah. Kemudian, aku letakkan diatas makam burung pipit yang indah itu. Kembali aku duduk dibangku panjang yang terbuat dari bambu yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Kembali kutatap pergerakan ilalang yang semakin lama kian lincah. Aku terenyuh melihat permainan Ilalang yang amat menawan. Jeddar! Petir menyambar secara tiba tiba. Aku tersentak dari pandanganku pada Ilalang tadi. Aku berdiri dan segera merapikan jilbabku yang sedikit berantakan. Melihat awan yang semakin gelap dan mengerikan, tanpa pikir panjang aku langsung berlari meninggalkan tempat yang teramat menakjubkan itu.

“Assalamu’alaikum, Bunda.” Suaraku memecah keheningan rumah.

“Waalaikumsalam,” Bunda menghampiriku.

“Anis ingat ini hari apa?” Bunda tersenyum manis.

“Hari Sabtu dan tanggal 22 Maret,” mataku menatap langit langit rumah sambil mengingat ingat, ada peristiwa apa dihari ini.

“Ehe?” Bunda menaikkan alisnya.

“Aha! Ulang Tahun Ayah yang ke 40 tahun ya Bun?” aku mengangkat jari telunjukku sambil membelalakkan mata.

“Thats right!” Bunda memainkan jari telunjuk, tengah serta jempolnya sehingga menghasilkan sebuah bunyi yang lumayan nyaring.

“Lantas, mau apa Bun?”

“Anis mau apa?” Bunda balik bertanya.

“Gimana kalau kita buat surprise untuk Ayah?”

“Ide bagus! Bunda saaangat setuju,” Bunda memberi tekanan disetiap katanya.

“Kalau bikin makanan sekarang, kira kira kekejar nggak ya Bun?”

“Kekejar dong, kalau gitu, ayo bikin sekarang aja!” Bunda terlihat semangat.

“Ayo!” pekikku sambil mengangguk kecil.

Aku dan Bunda segera menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk membuat makanan yang mungkin, akan membuat Ayah bangga. Aku segera melakukan instruksi dari Bunda. Aku memasak dengan perasaan bersemangat. “Semoga Ayah senang!” batinku.

“Huft!” aku menarik nafas dengan panjang.

“Capek ya Nis?” Bunda duduk di kursi hijau sambil merapikan jilbab.

“Engga kok Bun, asyik tau!”

“Yasudah, sekarang udah mau Maghrib. Sesudah shalat Maghrib dan Isya, langsung kita tata di meja makan. Okey?” Bunda mengangkat jempolnya.

“Okey Bun!”

Waktu Isya telah usai, aku dan Bunda segera menuju ruang makan guna menjalankan rencana yang sudah dibicarakan saat didapur tadi.

“Opor ayam disini. Ice Cream disini. Salad disini. Steak disini. Dan ikan teri kesukaan papa disini!” ujar Anis.

“Beres! Sekarang tinggal tunggu Ayah pulang. Tunggu Bunda telepon dulu ya?” Bunda berjalan menuju telepon rumah yang berada diruang tamu.

“Bunda! Jangan telepon Ayah, biar surprise aja Bun!” Aku meraih tangan Bunda.
“Okey deh!” Bunda mengusap kepalaku yang berkerudung ini.

Aku menunggu Ayah bersama Bunda diruang tamu. Sedikit berbincang kecil tentang masalahku disekolah. Bunda memberi saran dan motivasi. Aku menjadi semangat lagi berkat Bundaku yang tersayang.

“Haduh, mata Bunda udah berat nih Nis,” Bunda mengucek matanya yang sipit itu.
“Aaah, Bunda! Bentar lagi dong, temenin Anis,” aku merengek menarik narik tangan Bunda.

“Kamu tidur aja juga Anis, udah jam sepuluh malam,”

“Surprisenya gimana Bun?”

“Nantikan Ayah pulang Anis,”

“Nggak asyik Bun kalau gitu,”

“Yaudah, Bunda tidur duluan, Anis tunggu disini gimana?”

“Sepi Bun,”

“Bunda hidupin deh TV-nya biar rame,”

“Iya deh Bun!”

“Ya udah, Bunda kekamar dulu ya? Nanti kalau Ayah udah sampai, jangan lupa bangunin Bunda,”

“Okey Bun, tenang aja.


23.00

“Ayah kok belum pulang sih,” batinku.

Mataku semakin berat, dan berat. Ingin rasanya mata ini untuk terpejam sejenak. Tapi bagaimana dengan kejutan yang sudah dirangkai dengan sedemikian rupa? Ice Cream-nya saja pasti sudah meleleh. Tapi, mataku sudah berkantung. Bagaimana kalau disekolah besok aku ditertawakan? Haduh! Ayah lama banget sih! Aku tetap memandangi acara Televisi yang amat membosankan. Bagaimana tidak? Jam segini tidak ada acara yang mengasyikkan untuk seumuranku. Yang ada hanya acara horror yang membuatku bergidik saja. Tanpa disadari, aku terpulas disoffa depan T V. Ya, bagaimana lagi. Habis, sudah berat nih!


00.00


Aku terbangun saat mendengar jam dinding bernyanyi pertanda jam 00.00 telah tiba.
“Yah, udah tanggal 23 Maret nih! Bukan ulang tahun ayah lagi dong! Mana ayah belum pulang lagi!”

Aku menatap makanan yang sebelumnya sudah ditutup oleh Bunda agar tidak tercemar oleh Lalat nakal atau debu yang terbawa angin. Aku menatap televisi yang sudah mati.


“Hmm, mungkin dimatiin sama Bunda,”

Tok.. Tok... Tok... Dari luar rumah terdengar suara pintu.

“Aha! Itu pasti Ayah! Bangunin Bunda dulu ah! Eh tapi, nanti lama, mending aku ambil kue tart ini dan bilang suprise ke Ayah!” aku membuka pintu dengan penuh semangat dengan kue tart coklat ditanganku.

“Selamat Ulang tahun Ayaah!” aku berpekik sambil membuka pintu.

“Om John? Ngapain Om? Ayah mana?”

“Ayah Anis dirumah sakit sekarang, tadi kecelakaan didekat danau sana,” Om John tampak panik.

Tanpa sadar, kue tart yang sudah susah payah aku dan Bunda buat, terlepas dari genggamanku. Air mata kesedihan keluar dengan sendirinya melalui celah celah mataku yang berkantung.

“Anis ada apa sih?” Bunda keluar dari kamar. Mungkin, karena mendengar kue tart yang terjatuh ini membangunkan Bunda.

“Eh, Pak John ada apa?” Bunda mendekatiku dan Om John.

“Anis kenapa nangis?” Bunda terlihat heran.

“Ayah Anis kecelakaan Buk!”

“Astaghfirullah! Sekarang dimana beliau Pak?”

“Ada dirumah sakit Buk, mari saya antar,”

Tanpa ada mengunci pintu, aku dan Bunda segera memasuki mobil Om John yang bersedia untuk mengantarkan kami untuk bertemu dengan Ayah.

“Ayah!” aku berpekik.

Aku berlari menuju ruang anggrek 1, tempat ayah dirawat. Kata Dokter, tadi Ayah sudah dimasukkan keruang ICU, tapi, keadaan Ayah sudah membaik, jadi bisa dipindahkan keruang perawatan biasa. Aku memeluk Ayah yang sedang terbaring dengan erat. Aku merasa menyesal menghadapi peristiwa ini.

“Ayah! Anis udah bikin kejutan dihari ulang tahun Ayah! Tapi, ternyata usaha Anis sia sia,” aku terisak didepan Ayah yang lemah terkulai tak berdaya.

Ayah mengusap kerudungku dengan tangannya yang lemah tapi tetap kurasakan usapan Ayah yang lembut. Aku tetap menangis sejadi jadinya. Bunda hanya bisa menangis dan mendekati Ayah dan aku. Sedangkan Om John hanya bisa menatap aku dan Bunda yang dirundung pilu ini. Tangan Ayah semakin lemas saja. Bola mata hitamnya juga menghilang. Ayah kelihatan seram dengan wajah seperti itu. Kemana bola mata hitam ayah yang menawan? Kemana belaian lembut ayah yang menghangatkan? Dan kemana senyuman ayah yang asri? Semuanya hilang! Dokter bergegas masuk sambil membawa seperti senter kecil dan mendekatkannya dimata Ayah. Sesekali dokter membuka mata Ayah. Bola mata hitam itu masih tak terlihat. Kemana perginya? Dokter segera mengambil alat segi empat yang penuh kabel. Dan mendekatkannya didada Ayah. Kenapa Ayah diperlakulan seperti itu? Bukankah perlakuan yang seperti itu akan membuat Ayah semakin parah saja? Tapi, Dokter macam apa yang melakukan hal dengan tujuan seperti itu ke pasiennya? Kenapa semua ini dilakukan? Kenapa? Kenapa tidak ada yang menjawab? Ayah! Kenapa Ayah diperlakukan seperti itu? Kenapa Bunda menangis sejadi jadinya? Dan bahkan Om John pun menangis? Kenapa? Kenapa?

“Nyawa Pak Andi tidak bisa diselamatkan. Maafkan kami Buk, hanya inilah kemampuan kami. Kami turut berduka cita ya Buk,” Dokter mengucapkannya pada Bunda.

Kenapa? Kenapa alat alat yang membuat badan ayah terangkat dicabut? Apakah sudah berakhir metode itu? Tapi, kenapa badan Ayah tidak bergerak? Kenapa malah tambah kaku dan kenapa Bunda menangis dengan sangat keras? Kenapa dokter mengucapkan bela sungkawa? Kenapa Ayah tidak bergerak? Aku sungguh bodoh! Apa itu pertanda bahwa Ayah sudah dijemput oleh Tuhan? Apa itu pertanda ayah tidak akan menonton pertandingan bola bersamaku lagi? Apa itu pertanda makanan yang ada dirumah tidak ada yang memakan? Jawab! Tolong jawab! Ya tuhan! Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ini akhir dari penantian panjangku? Kenapa harus berakhir seperti ini Tuhan? Aku tidak akan lagi merasakan hangatnya belaiannya, aku tidak akan pernah lagi mendengar suaranya yang menyejukkan hati itu, dan aku tidak akan pernah melihat sosok Ayah terbaik sedunia yang pernah aku miliki. Kenapa dihari pertama 40 tahun Ayah harus berawal dengan seperti ini? Kenapa Tuhan tidak memberikan kesempatan sekali lagi untuk Ayah agar bisa mencicipi makanan buatanku? Ayah bilang ingin mencicipi makanan buatanku. Tapi kemana janji Ayah? Air mata yang satu ini sangat dahsyat. Tak pernah aku keluarkan air mata sedahsyat ini. Ternyata inilah namanya kehilangan, teramat menyakitkan.

“Anis, Om turut berduka cita, dan ini surat dari Almarhum Ayah Anis yang dititipkan kepada Om untuk diberikan kepada Anis,” Om John menyodorkan surat kecil yang katanya dari Ayah.

Aku membukanya dengan cepat.

Teruntuk

Putriku Sayang

Anisa Zahira Farentiqa

Anis, apa kabar sayang? Semoga anak papa yang jagoan ini baik baik saja ya? Kalau papa sih, jelas baik Nis. Soalnya, papa sudah bersama Tuhan sekarang. Anis nangis ya? Maaf ya, Ayah nggak bisa ngusap air mata Anis. Ingin rasanya menyentuh pipi anis yang lembut untuk mengusap air mata Anis. Tapi Ayah nggak bisa Nis, ayah nggak kuat, dan Tuhan tidak mengizinkan Ayah.

Ayah minta maaf, enggak bisa nemenin Anis nonton pertandingan sepak bola lagi. Ayah minta maaf, karena Ayah enggak bisa bantuin Anis untuk ngerjain Bunda lagi. Ayah minta maaf, karena Ayah jahat karena ninggalin Anis. Sekarang Ayah udah jauh, jauh Nis. Anis enggak bisa cari Ayah kemana. Yang perlu Anis tau, Ayah sekarang udah tenang. Dan yang perlu Anis tau lagi, Anis udah aman. Anis nggak perlu nunggu Ayah sampai larut malam lagi. Anis nggak perlu nungguin Ayah untuk nonton bola bareng. Anis bisa kan, nonton sama Bunda? Bunda nggak suka bola ya Nis? Cubit aja perut Bunda biar mau. Hehehe. Anis harus tau ya, kalau Ayah itu sayang sekali sama Anis. Sebenarnya, Ayah nggak mau ninggalin Anis, tapi ini udah kehendak Tuhan kita Anis. Anis sayang kan sama Papa? Kalau sayang, ikhlasin Papa ya Nis? Biar Ayah enggak dihukum sama Tuhan. Anis enggak mau kan, kalau Ayah dihukum sama Tuhan? Nah, kalau enggak mau, Ayah mohon Anis ikhlasin Ayah. Oh Iya, jangan lupa untuk jaga Bunda ya? Jangan terlalu sering nyubit perut Bunda, nanti Bunda enggak mau loh nonton bola bareng Anis. Janji ya Sayang?
Salam terhangat
Ayah

Air mataku semakin deras saja mengalir. Aku tidak ingin menangis, karena aku tidak mau Ayah dihukum sama Tuhan. Tuhan yang baik, tolong jaga Ayah Anis Tuhan. Anis janji, enggak akan nyubit Bunda terlalu banyak. Tolong ya Tuhan, kasih tempat yang paling indah disana. Tapi, enggak pakai bidadari enggak apa apa kok, karena, Bunda dan Anis siap jadi bidadari Ayah disurga sana. Terima kasih Tuhan, sudah mau mendengar doa Anis. Semoga, Tuhan mengabulkan doa Anis ya?

Aku jadi teringat dengan burung pipit yang gugur tadi. Burung itu memang yang paling menawan, tapi sayang, kemenawanan burung itu membuat pohon cemara yang angkuh itu semakin angkuh saja sehingga membuat burung itu tertabrak. Beginilah Ayah. Ayah adalah yang paling terbaik dihati Anis, sehingga ada saja yang iri sama gelar Ayah yang terbaik dihati Anis itu. Tapi, enggak apa apa deh, Anis akan ikhlasin Ayah. Kan, Anis sayang Ayah, Anis enggak mau Ayah dihukum. Tenang ya Yah disana? Anis sayang kok sama Ayah. Ayah tenang aja, Tuhan enggak akan menghukum Ayah kok. Soalnya, Anis udah doa sama Tuhan. Tuhan itu maha pengasih dan penyayang. Tuhan sayang semua orang. Apalagi sama Ayah yang shaleh, dan terbaik dihati Anis. Pasti Tuhan akan mengistimewakan Ayah disana. Dan yang perlu Ayah tau, Anis sayaaaang banget sama Ayah. Karena Ayah adalah Ayah terbaik yang paling Anis sayang sedunia :)

0 komentar:

Posting Komentar