cerpen "dream"

DREAM!

karya valencia perdana rizal

7 November 2013 pukul 20:42

Aku melangkahkan kakiku yang dibaluti sepatu usang yang sudah mulai mengoak. Meminta untuk diganti, atau sekedar ditambal. Aku tak terlalu menghiraukannya. Aku pikir, hal ini tidak terlalu menimbulkan masalah berarti bagiku. Cemoohan, hinaan, dan makian sudah sangat biasa aku dengar. Hal itu bagaikan makanan sehari hariku yang wajib, dan pantang untuk ditinggalkan. Tapi, lagi lagi aku tak terlalu menghiraukannya. Dan lagi, aku pikir hal itu amat sangat tidak penting. Aku tetap semangat, menjalani hariku yang itu itu saja, bahkan lebih parah dan amat menyakitkan. Aku berusaha sabar, dan tetap semangat. Salah satu poin yang membuatku tetap semangat adalah senyuman sang motivator. Aku adalah anak yatim piatu. Ibuku meninggal saat melahirkanku. Sedangkah ayah? Ayah mengalami depresi berat saat mengetahui ibu telah tiada. Hal itu membuat ayah menjadi tak terkontrol. Ayah sering menyakiti dirinya dengan benda tajam dan tak jarang mengamuk disekitar pemukiman warga. Ayahku dimasukkan dirumah sakit jiwa setempat untuk menjalani proses penyembuhan dan juga menghindari ayah dari adanya bahaya yang mungkin akan ayah lakukan yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat. Ayah akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit jiwa itu. Padahal, aku belum sempat melihat wajahnya. Aku mengetahui kisah ayah secara merinci dari nenekku. Yang saat ini sudah menjadi almarhumah. Kini, usiaku 14 tahun. Dan, nenekku meninggal disaat usiaku 11 tahun. Nenek meninggal karena beliau sudah tua dan mungkin sudah saatnya beliau pergi. Dan kini, aku hanya sebatang kara. Tapi, aku masih mempunya seseorang yang teramat spesial bagiku. Dialah Franklin Ramses Burumi. Sahabat, sekaligus motivatorku. Dia berumur sama dengaku, 14 tahun. Dan, dia juga mempunyai mimpi yang sama denganku. Ramses sapaan akrabnya, berbanding terbalik dengaku, dia adalah anak seorang pengusaha batu bara. Ayahnya selalu hilir mudik menggunakan kendaraan udara yang sangat canggih dan tentu biayanya mahal. Tapi, Ramses terkadang merasa sedih, karena ayahnya yang pengusaha itu sedikit sekali mempunyai waktu untuknya. Terlebih lagi, ibunya sudah wafat membuatnya terpuruk dan merasa kesepian. Aku dan Ramses berbeda. Perbedaan kami adalah beda agama. Aku beruntung bisa berteman dengan Ramses, perbedaan itu membuat Bhineka Tunggal Ika semakin berarti! Berteman dengan Ramses membuatku mengerti bahwa perbedaan itu indah dan patut dijunjung tinggi. Tapi, aku juga mengerti bahwa perbedaan tidak membuat kita menjauhi berbagai macam perbedaan. Tapi, perbedaanlah yang membuat kita kuat dan beragam!

“Keep runing! To achieve a dream!”
Sampailah aku disekolahku yang sangat mewah bagiku. Aku mendapat beasiswa sampai lulus dari sekolah ini. Hey, aku masih SMP. Bagaimana bisa aku melanjutkan sekolahku ketingkat selanjutnya? Sedangkan beasiswa ini, hanya sampai aku lulus SMP. Astaga! Aku sangat ingin melanjutkan sekolahku, dan membuat Ibu, Ayah, dan Nenek bangga disana. Tapi, aku sudah sangat bersyukur sekali atas beasiswa yang diberikan pemerintah kepadaku. Mungkin, usaha dan doa yang akan memberikan jawabannya.
“Triya!” Ramses berlari kecil mendekatiku.
Aku hanya tersenyum simpul.
“Aku sudah sangat lama menunggumu”
“Benarkah? Untuk apa?”
“Pasti kau tak memercayainya”
“Aku selalu percaya padamu Ramses”
“Kau menggoda!”
“Haha! Bukan seperti itu, aku tau bagaimana kamu, dan…”
“Ya ya! Tak usah kamu lanjutkan bicaramu aku mengerti”
“Jadi, apakah itu? Gembira?”
“Lihat saja nanti”
Aku kembali tersenyum.

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah untuk tahun ajaran 2013/2014. Dan, aku satu kelas dengan Ramses! What a big surprise!
“Mana?” tanyaku
“Apa?” Ramses balik menanyaiku.
“Beritanya?”
“Just waiting Triya!
Aku tersenyum. Kali ini aku lebih banyak tersenyum daripada memperpanjang percakapanku dengan Ramses yang tak berujung.

“Ramses, bel tanda pulang sudah berbunyi!” aku menggerutu
“Jadi?” Ramses mengernyitkan dahi.
“Beritanya Ramses! Berita!” aku geram dibuatnya.
“Aha! Iya!” Ramses terkikik.
“Ikut aku!” kata Ramses menghentikan kikikannya.
Aku mengikutinya menuju tempat yang ia maksud.

“Aku rindu ruangan ini!” aku berjingkrak.
“Apakah kejutan itu ada hubungannya dengan ruangan ini?” aku bertanya dengan bibir melebar dan menampakkan gigi seriku.
“Menurutmu?” Ramses membuatku penasaran.
“Aku berharap iya!” aku bersemangat.
“Ah! Kalian rupanya!” pak Wibowo melebarkan senyum dan menampilkan deretan gigi yang mulai mengeropos.
Aku lagi lagi tersenyum.
“Jadi, bapak akan memberikan makanan kepada kalian berdua,” pak Wibowo berjalan menuju kursi yang terbuat dari kayu yang dipahat. Aku dan Ramses mengikuti pak Wibowo.
“Ma, makanan?” aku meninggikan suaraku 1 oktaf.
“Iya, persiapkan diri kalian, waktunya hanya 1 minggu!” pak Wibowo meyakinkan.
“Kalau begitu, kita mulai besok sore.,” pak Wibowo melanjutkan perkataannya.
“Baik pak!” Ramses bersemangat.

Kami mempermisikan diri untuk pulang dan Pak Wibowo mempersilahkan.
“Besok?” aku sumringah.
“Iya, kenapa? Tak suka?” Ramses kembali menggoda.
“Bisakah lebih cepat lagi?”
“-______-“


Aku menatap sepatuku yang mulai jebol. Aku memperhatikan sepatuku dengan seksama. Aku sidik sidik kerusakan pada sepatuku. “Hampir semuanya,” aku hampir putus asa. “Bagaimana untuk 1 minggu yang akan datang? Bagaimana untuk esok sore?” hatiku berkecamuk.

“Triya!” teriakan seseorang yang tak asing membuyarkan lamunanku.
“Ayo Triya!” Ramses bersemangat.
“Untuk apa?” aku kebingungan.
“Loh, katanya ingin dipercepat!” Ramses tak berekspresi.
“Pak Wibowo?” tanyaku singkat.
“Hari ini, tanpa pak Wibowo. Sekalian pemanasan!” Ramses meyakinkan.
“Ba, baikalh!” aku terbata bata.

Aku mengenakan sepatu usang itu. Dengan kerusakan disana sini yang sangat amat parah, tapi aku tetap menorehkan senyuman diwajahku.
Sore itu, aku dan Ramses datang ke lapangan tempat anak anak biasa bermain. Sebenarnya, itu bukan lapangan. Dulunya, itu adalah ladang singkong. Tapi, ladang itu sudah memasuki masa ipanen. Jadi, ladang itu sudah rata dengan tanah yang sedikit bergelombang dan sudah tidak dipakai oleh petani yang ada disana. Makanya kesempatan itu dimanfaatkan oleh anak anak didesaku.

“Okey! Pemanasan kali ini cukup!” Ramses memegang lutut dan menjulurkan lidahnya.
“Huh! Tenaga mu kecil,” aku meledek sahabatku.
“Meledek ya? Besok aku akan pecahkan rekor!” Ramses bertekad.
“Bagus nak! Semangatmu 45!” aku kembali menggoda dan berlari pulang meninggalkan Ramses. Ramses mengejarku dengan nafas tersengal sengal.


Seperti biasa pagi ini aku bersekolah dengan sepatu yang penuh kenangan itu. Aku sangat tak sabar dengan agenda sore ini! Aku harap waktu cepat berlalu!

“Triya!”
“Pasti Ramses” batinku.
Aku keluar dengan pakaian yang lengkap walaupu tak semahal dan sebagus pakaian Ramses.
“Bagaimana kalau kita berlomba untuk sampai kesekolah?” Ramses menantang.
“Serius? Nggak takut?” aku menggoda dengan wajah meledek.
“Tidak!”
“Kalau begitu, aku start duluan!” aku berlari sekencang kencangnya tanpa menghiraukan sepatuku yang sudah sakit ini.

“See? Padahal kamu yang start duluan loh,” Ramses tersenyum meledek.
“Ya ya! Mungkin ini adalah hari keberuntunganmu Ram!” aku menghibur diri.
“Terserah padamu!” Ramses tak mau memperpanjang perdebatan bersamaku.
Pak Wibowo datang membawa stopwatch dan mengenakan pakaian olahraga lengkap.
“Baik anak anak, jaraknya 100 meter,” Pak Wibowo berdiri didepan aku dan Ramses.
“Jarak pendek!” pekikku.
“Ya! Kalian tahu apa yang perlu diperhatikan disini?” Pak Wibowo menguji pengetahuan kami.
“Kecepatan pak!” Ramses mendahuluiku yang sudah membuka mulutku.
“Bagus! Triya?” pak Wibowo melirikku.
“Stamina yang kuat pak!” aku bersemangat.
“Bagus! Kalau begitu, bapak ingin tahu kecepatan kalian masing masing. Sekarang, ayo menuju lintasan!” Pak Wibowo memberi arahan.
“Hey Ramses! Aku akan mengalahkanmu!” aku memasang wajah menantang kepada Ramses.
“Tidak tidak, aku yang akan mengalahkanmu!”
“Baiklah anak anak. Bersedia, siap, ya!”
Aku berlari sekencang kencangnya tanpa memperhatikan pergerakan Ramses.
Aku tak tahu pasti, tapi kelihatannya waktu finish aku dan Ramses sama persis.

“Bagaimana pak?” Ramses penasarn.
“Tak dapat dipercaya! Kalian berdua menempuh waktu 13,45 detik!” pak Wibowo menunjukkan raut wajah tanda kekagumannya.
Aku melirik Ramses, Ramses juga melirikku.


Waktu demi waktu berlalu, aku terus berlatih bersama sahabatku, Ramses! Tak terasa, besok adalah harinya. Hari dimana mimpiku berkembang, hari dimana puncak dari latihanku selama ini, dan hari untuk mengerahkan semua tenaga dan usaha. Aku masih melirik sepatuku yang sudah sangat parah karena sepatu itu bertutur turut aku pakai untuk kesekolah dan juga latihan. Dan, sepatu itu akan aku kenakan juga dihari esok. Aku bukannya tak bersyukur, aku hanya prihatin dengan keadaanku saat ini. Ah! Yasudahlah, aku pikir hari esok tergantung pada diriku, bukan sepatu ini!

Aku datang menuju sekolah pukul 06.00 pagi untuk persiapan yang lebih matang dan menerima pengarahan dari Pak Wibowo.
“Triya!” Ramses berteriak, dan nampaknya sangat gembira.
“Ada apa Ramses?” aku bertanya.
“Ini!” Ramses menyerahkan kotak sederhana.
“Apa ini?”
“Buka saja!”
“Sepatu?”
Ramses tersenyum.
“Bagaimana kamu tahu?”
“Aku ingin kita menampilkan yang terbaik,”
“Tapi, kenapa ini?”
“Itu akan meningkatkan peformamu!”
“Terima kasih Ramses”
“Sama sama, pakailah Triya!”
Aku memakai sepatu pemberian sahabatku. Dan yang ini, sangat nyaman!

“Berlarilah sekencang kencangnya, seperti kalian mengejar impian kalian. Berlarilah untuk orang yang kalian cintai!” Pak Wibowo memberikan motivasi.
Aku dan Ramses mengangguk tanda setuju.
“Untuk siapa kamu berlari?” tanyaku pada Ramses.
“Untuk ibuku” Ramses tersenyum pahit. Serasa ingin mengeluarkan sesuatu dari matanya.
Aku memegang pundak Ramses, memukulnya dan berkata “Jangan cengeng! Berlarilah!” kata kata itu sering Ramses lontarkan padaku disaat aku putus asa.
Ramses tersenyum haru, “Bagaimana denganmu?”
“Aku berlari untuk Ibu, Ayah, dan nenekku! Oh ya! Dan juga untuk kamu,” aku tersenyum dan tidak menampakkan wajahku yang serasa ingin mengeluarkan bulir bulir air mata.
“Untuk aku?”
“Iya!”
“Kenapa?”
“Karena kau motivator dan penyemangatku!”
“Kalau begitu, aku juga akan mempersembahkan ini untuk kamu,”
Aku tersenyum..

“Running for our loved ones. Running achieve a dream!”
Tibalah saatnya. Aku berjalan menuju lintasan. Kali ini adalah pelari putri yang memulainya terlebih dahulu. Para peserta memasang posisi jongkok, begitu juga denganku. Aku merasa percaya diri dengan sepatu yang kukenakan. Terima kasih Ya Allah!


“Bersedia, siap, ya!”
Aku berlari sekuat tenaga, tanpa memperhatikan peserta lainnya. Aku berlari untuk Ibu, Ayah, dan Nenekku. Aku berlari untuk meraih mimpiku. Dan aku berlari untuk mempersembahkan yang terbaik untuk semuanya. Berlari, berlari, dan berlari! Jangan berhenti, tetaplah berlari!
Ramses! Saat ini giliran pelari putra. Aba aba kembali diteriakkan oleh wasit dan ditandai dengan aba aba itu, mulailah pelari pelari seumuranku berlari menurut prinsip mereka. Saat pertandingan berlangsung, aku hanya bisa melihat pertandingan itu di TV LCD yang diberikan pihak penyelenggara pada suatu ruangan dimana para peserta dikumpulkan. Tak lupa, aku berdo’a pada-Nya.

“Ramses?” mataku terbelalak.
Entah apa yang merasuki dirinya, Ramses terjatuh. Astaga, kenapa ini bisa terjadi? Dia pelari yang hebat, dia sang motivator, kenapa? Fikiranku berkecamuk dan aku terlihat sangat lesu.
Pertandingan selesai, aku menghampiri Ramses!
“Ramses! Apa yang….”
“Ramses! Sepatu itu,” aku marah pada Ramses.
“Kenapa kau pakai sepatuku?”
“Aku, hanya ingin merasakan bagaimana jadi dirimu,”
“Bukan sekarang Ramses! Bukan sekarang!”
Aku marah pada Ramses. Ditengah kemarahanku, panitia lomba mengumumkan pemenangnya dan membuatku terpaksa menghentikan amarahku.
Yang pertama adalah pengumuman untuk pelari putri, darahku berdesir dengan kencang, jantungku berdegup kencang, dan kakiku gemetaran. Panitia mulai menyebutkan pemenang pemenang dari juara 3, 2, dan 1. Juara 3 dan 2 sudah disebutkan.

“Pupus sudah harapanku” aku putus asa
“Juara 1 untuk perlombaan lari ini, dengan perolehan waktu 10,32 detik adalah Triyaningsih!”
“Deg!” jantungku serasa berhenti berdetak. Sorak sorai kemenangan diriuhkan di arena lintasan. Aku tak sanggup berkata apa apa.
“Maaf, aku tidak bisa menampilkan yang terbaik,” Ramses menyodorkan tangan.
Aku bingung, harus marah atau apa. Aku ingin marah, karena sikapnya yang bisa menghentikan prestasinya. Tapi, dihari kemenanganku ini, aku sangat ingin berbagi kebahagiaan. Tapi, aku sangat sedih melihat kondisi Ramses yang membuatnya menjadi seperti ini. Dan akhirnya, aku meraih tangannya dan menjabat tangannya dengan erat.
“Kau gadis luar biasa Triya!”
“Terima kasih, jika kau tak lakukan kesalahan ini pasti kau lebih hebat daripada aku,”
“Tidak Triya! Maksudku, selama ini kita berlatih kau menggunakan sepatu ini. Dan, aku sudah merasakan memakai sepatu yang kau kenakan, kau benar benar luar biasa.
“Kenapa kau lakukan itu?”
“Aku ingin merasakan perjuanganmu,”
“Kenapa harus sekarang?”
“Karena aku ingin memakainya disaat yang sangat bersejarah didalam hidupku,”
“Maafkan aku Ramses,”
“Hey, jangan salah, aku sungguh bahagia bisa memakai sepatumu dievent besar seperti ini,”
“Bolehkah sepatu ini menjadi milikku?” Ramses membuatku melotot.
“Hah? Kamu gila?”
“Tidak Triya. Bolehkan?”
“Untuk apa Ramses?”
“Sepatu itu adalah sepatu yang selalu menemanimu kan Triya? Dan, sepatu itulah yang mengantarkanmu menjadi seperti sekarang ini. Aku ingin memilikinya agar aku selalu ingat atas semangatmu,”
“Tapi, itukan sepatu….”
“Iya! Ini sepatu yang luar biasa! Sepatu yang sangat hebat!”
“Maksudku…”
“Iya, itulah maksudmu!”
“Tidak!” mataku berat.
“Jangan cengeng! Berlarilah!” Ramses menepuk pundakku.
Aku tersenyum terharu, aku menatap Ramses dalam dalam.
“Terima kasih Ramses, atas semuanya!”
“Hahaha! Kau bisa membuat suasana menjadi mengharukan juga ya?” Ramses menggoda.
“Ah kau ini! Aku sedang serius Ramses,” aku mengeluarkan airmata bahagia.
“Iya iya, sama sama Triya. Terima kasih juga sudah mengisi hariku dengan semangatmu!”
Aku tersenyum

.
Aku mendapatkan beasiswa atas kemenangan ini, aku mendapat beasiswa sampai aku lulus S1. Amazing!
Aku ingin berterima kasih pada Allah Swt. Orang tua dan nenekku. Dan, Franklin Ramses Burumi! Motivator, penyemangat, dan sahabat untukku! Terima kasih atas semuanya Ramses, kamu beda dari yang lainnya. Kamu sangat beda! Kamu mengajarkanku bagaimana aku harus mensyukuri semua anugerah-Nya. Dan kau tahu? Aku semangat karena motivasi darimu! Terima kasih J

1 komentar: